Pepatah "sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya" itu memang bener banget kayaknya, ya.
Contohnya ketidakpercayaan saya, ketika kemarin dan tadi pagi melihat serta mendengar "ulasan" berita di tipi tentang bermunculannya lubang-lubang besar dan dalam di jalanan ibukota saat musim ujan ini. Pada berita itu, dikabarkan ada metromini masuk sungai, dan ditengarai penyebabnya adalah karena sang metromini menghindari lubang yang menganga di daerah Sentiong.
Melihat dan mendengar ulasan itu, benak saya "melawan". Nggak percaya. Apa iya, hanya gara-gara lubang si metromini kebablasan ke sungai?
Saya dengarkan ulang berita tadi pagi. Lebih detil, saya dapat informasi bahwa metromini itu kebablasan masuk sungai ketika berusaha mendahului kendaraan di depannya.
Nah, kan? Benak saya memang terus memaksa mengambil kesimpulan sendiri. Sejak kemarin saya nggak yakin kalau kecelakaan itu karena lubang, tapi lebih karena ugal-ugalannya si pengemudi.
Kenapa benak dan pikiran saya "melawan"? Ya, karena di benak ini sudah sangat terpola : bahwa metromini identik dengan ugal-ugalan, nyetir seenak udelnya, lenggak-lenggok kagak ada sopannya, ngelanggar lampu lalu lintas di perempatan, mau menangnya sendiri, berhenti menaikturunkan penumpang di tengah jalan, penghasil asap item tebel, dan sebagainya yang jelek-jelek.
Saya sendiri pernah dapet kejadian, metromini yang saya tumpangi tabrakan
face to face dengan metromini lainnya, gara-gara nggak ada yang mau ngalah ketika berusaha "memanfaatkan" jalur di atas marka jalan. Dhhhuarrr!!! Hidung kedua metromini penyok, lampu depan padha pecah, penumpang padha "Allahu Akbar!".
Hebatnya, kedua pengemudi kayaknya sudah sangat biasa dengan kejadian seperti itu. Nggak pake bertengkar lama, keduanya pergi melanjutkan rute trayek masing-masing.
Jadi bagi saya, rupanya kecelakaan bagi metromini itu sudah biasa kali ya? Hehe... Tapi, kesimpulan itulah yang melekat sampai sekarang.
So, otak ini jadi susah menerima "kenyataan yang ada", meskipun mungkin ulasan di tipi itu betul adanya.
***
Omong-omong soal "sekali lancung ke ujian" dan seterusnya itu, saya juga punya contoh lain. Temen yang ngutang ke temen lain, wanprestasi alias ngelanggar janji. Ke temen yang lain, gitu juga. Walhasil, "fakta" ini menyebar ke seluruh temen. Hasil lebih lanjut, sampai sekarang tak ada orang lain yang mau minjemin, bahkan dalam nilai minimal sekalipun! Sudah nggak ada orang yang percaya sama janji temen saya itu.
Ada juga cerita dari temen lain, tentang temennya (
lhah, bingung kan, kebanyakan temen, hehe...) yang hobi becanda. Ia paling sering berpura-pura kesakitan (
hiperbol gitu lah) kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan pemicu. Temen-temen lain pun panik. Setelah kehebohan bener-bener terjadi, baru dia menghentikan
acting-nya, lantas ngakak berat. "Hahaha!!! Bahagianya bisa ngibulin temen-temen...," kata dia. Puas.
Hasilnya, ia benar-benar hampir celaka gara-gara teriakannya tak diapresiasi oleh kawan-kawannya, padahal ia bener-bener kesakitan waktu itu! Hampir fatal akibatnya! Nah lo...
***
Pasti masih banyak cerita serupa. Tentang kebohongan yang dilakukan berkali-kali, tentang tabiat dan kebiasaan buruk yang diulang-ulang, yang membuat orang tak lagi percaya kepadanya.
Cilakak dua belas, kan? Padahal, masih banyak sopir metromini yang baik. Masih banyak kusir bajaj yang nggak seenaknya dalam mengendara. Masih banyak politisi yang tidak busuk. Masih banyak polisi lalu lintas yang anti suap. Masih banyak bankir yang terpuji... :)
Dan lain-lain, dan sebagainya.
Jadi, siapa yang dirugikan oleh kelakukan yang "lancung" itu?
Setidaknya ada dua pihak.
Pertama, orang itu sendiri. Ia tak akan mendapat kepercayaan lagi dari orang lain. Padahal, setiap orang butuh kepercayaan dari pihak lain jika mau eksis dan berkembang.
Kedua, "komunitas" atau orang-orang yang seprofesi dan selingkungan dengan dia. Jika ketidakpercayaan itu menimpa orang lain yang sebenernya "baik", berarti si
trouble maker ini sudah mencipta fitnah bukan?
Padahal, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Padahal lagi, membunuh jelas lebih jahat daripada tidak membunuh, bukan? :)
Halah, kok jadi kemana-mana dan ngaco begini.
Ya sudah, intinya, mari sama-sama tidak menjadikan kebohongan, suka bohong dan kebiasaan jelek sejenisnya sebagai bagian dari karakter kita. Bisa cilakak kita...
OK. Setuju?
Salam,
Fajar S PramonoIlustrasi : http://i67.photobucket.com
0 komentar:
Posting Komentar