Apa ya, terjemahan paling pas untuk kata "kemaruk" dalam bahasa kampung kami? "Berlebihan", mungkin.
Tapi, hmm..., sebenarnya kurang pas juga. Mungkin lebih tepat "mencoba memenuhi hasrat yang besar, namun tanpa melihat kemampuan atau kondisi yang ada" (
lhah, kok panjang gini translate-nya? hehe...).Pokoknya begitulah. Atau, enaknya pakai contoh.
Beberapa hari yang lalu, saya mencoba salah satu tujuan wisata kuliner di daerah Tebet. Namanya Rumah Makan "Eling-Eling", yang menyajikan makanan khas Banyumas-an. Kebetulan, saya membaca
feature tentang rumah makan ini di halaman
Food & Beverage, harian
Media Indonesia Minggu (25/01/09).
Ada satu yang membuat saya "ngiler" ketika membacanya : tempe mendoan! Wuih, saya suka banget makanan "setengah mateng" ini. Tempe tipis yang biasanya memang dibuat khusus untuk mendoan, lebar dan panjang (baca : luas, hehe...), dibalut adonan tepung beras, tepung terigu, ketumbar, merica dan bawang putih. Hmmm... nyam nyam pokoknya.
Dasar sudah lama nggak makan mendoan "asli", begitu duduk, saya langsung memesannya.
"Satu porsi, Pak?" tanya sang pelayan.
"Satu porsi isi berapa?" saya balik bertanya.
"Satu porsi isi sepuluh. Pesan satuan juga bisa," jawab sang pelayan ramah.
Berpikir sejenak, dan dengan dorongan "emosi" akan nostalgi, dengan tegas saya katakan, "Satu porsi!".
Sang pelayan mengangguk, dan mencatat pesanan itu. Dilanjutkan dengan pesanan lainnya, seperti sroto daging telor, ketupat, es jeruk, sambil tak lupa menjamah rempeyek kacang yang "Jawa banget" di meja.
Pesanan sroto datang beserta ketupat. Saya cicipi sambil ngemil rempeyek. Tak lama kemudian datanglah sang mendoan. Dan tahukah Anda, seberapa banyak ternyata yang namanya "satu porsi" itu?
Satu piring datar besar, dengan sajian yang tinggi menjulang!
Dhuueng...!!! Bener-bener banyak, pembaca! Padahal, kami cuman bertiga. Bahkan, satu di antara kami adalah seorang kawan perempuan, yang tentunya tak biasa makan se-"rakus" kami yang laki-laki. Kedua kawan saya juga terkejut bukan kepalang, karena memang mereka tak tahu bahwa saya memesan satu porsi.
Membayangkan sebegitu banyak makanan tersaji di depan kami, saya langsung merasa kenyang. Kalau ada pameo "kalah sebelum bertanding", maka saya menjadi "kenyang sebelum bersantap", hehe.
Dus, sroto dan ketupat saya singkirkan. Rempeyek yang masih separo saya jauhkan dari hadapan, dan saya ganti dengan piring kosong untuk menyantap mendoan.
Satu mendoan, begitu nikmat. Sroto hanya tersentuh kuahnya, sebagai penghantar rasa seret di tenggorokan. Ketupat?
Untouchable. Bukan tak bisa tersentuh, tapi yang pesan malas menyentuh.
Mendoan kedua, masih nyamleng. Hmmm...
"Pak, srotonya kok nggak jadi dimakan?" kata kawan.
"Nanti, setelah mendoan ini habis," kata saya sok gaya.
Habis sudah mendoan kedua. Perut yang "sudah kenyang duluan" tadi, terasa benar-benar sesak. Ilfil (
ilang feeling) sudah dengan sroto, apalagi ketupatnya.
Karena nafsu, saya ambil lagi mendoan ketiga.
Apa yang terjadi? Seenak-enaknya sang mendoan, kalau perut sudah "angkat tangan", ya sangat susah dan amat payah saya berusaha menelannya.
Sementara kedua kawan yang sudah menghabiskan sroto plus ketupat dan nasi masing-masing, hanya mampu "membantu" saya menghabiskan sang mendoan, masing-masing satu biji.
Dhess. Mau diapakan "seonggok" mendoan yang masih sebegitu banyak itu? Yach, tak ada yang lebih bijak, kecuali membungkusnya. Masih dengan keinginan sanggup menghabiskan nantinya.
Yang terjadi, sampai sore ketika balik ke kantor, bungkusan mendoan itu tak sanggup tersentuh. Pilihan bijak berikutnya, dipersilakan kepada temen-temen security untuk mencicipi mendoan yang pastinya sudah dingin dan tak seenak ketika masih panas. "Kasihan" ya, mereka... hehe. Mestinya mereka juga berhak atas sajian yang hangat seperti yang saya makan tadi.
Nah, cerita yang begitu panjang tadi adalah "terjemahan" dari kemaruk. Nafsu yang besar, tapi tenaga kurang. Hanya keinginan emosional, tanpa melihat kondisi dan kemampuan.
Sama, dengan ketika saya pulang kantor, sudah di atas jam 10 malam, masih membawa kerjaan yang kalau dikerjakan sampai selesai bisa memakan waktu minimal empat jam! Lhah, lantas kapan nonton tivi-nya? Kapan bercengkerama dengan keluarga-nya? Kapan istirahatnya? Kapan tidurnya? Kapan ibadahnya (
ceile, sok religius nih, ceritanya...)?
Ya gitu deh. Keinginan menyelesaikan pekerjaan sangat besar, tapi hasilnya : pekerjaan justru tak tersentuh. Ya iyalah. Pulang sudah capek. Kebutuhan
refreshing dengan melihat acara tivi menuntut pemenuhan. Belum lagi jika anak masih melek. Otomatis mereka menuntut jatah waktu dari ayahnya. Belum istri... (
psst, sensor! Hehe...). ***
Intinya : punya keinginan itu baik. Tapi, kalau berlebihan dan tanpa melihat kondisi alias realitas, ya kurang baik. Punya tekad menyelesaikan sesegera mungkin pekerjaan, ya pasti sangat baik. Tapi, ada kebutuhan-kebutuhan lain yang juga menuntut pemenuhan. Ketika badan sakit, produktivitas malah mendekati titik nadir. Nol. Ketika kurang tidur, besoknya nggak bisa konsen ke kerjaan berikutnya.
Punya ambisi itu baik. Tapi, kalau ambisius, kayaknya sudah mulai negatif deh. Biasanya, kalau ambisius, seseorang mulai "menghalalkan segala cara", demi terwujudnya ambisi tadi.
Punya obsesi sangat bagus. Tapi kalau obsesif, rasanya sudah mengganggu kenyamanan diri. Otak tak pernah berhenti berpikir, tak sempat beristirahat, karena kepikiran obsesi itu terus-menerus. Padahal, ide dan pikiran inovatif lebih sering muncul ketika pikiran dalam kondisi
fresh. Segar.
Kadang, dalam satu waktu, kita pingin mengerjakan banyak sekali hal, yang kesemuanya masih dalam taraf awal, alias setengah mateng pun belum. Dengan kemampuan yang terbatas, akhirnya tak ada hasil yang memuaskan dari masing-masing keinginan tersebut.
Ada nasehat. Pilahlah dengan skala prioritas. Kemudian, pilahlah menjadi kelompok-kelompok pekerjaan yang kecil. Mungkin butuh waktu sedikit lebih panjang. Tapi, masing-masingnya bisa beroleh hasil memuaskan. Pilih mana, coba?
Pokoknya, nggak usah kemaruk lah. Ada sesuatu yang harus dikorbankan di sana, ketika kita kemaruk. Ada sesuatu yang pada akhirnya malah mubazir, sebagaimana sroto dan ketupat saya yang pada akhirnya harus "terbuang". Kenikmatannya tak tercecap, "dosa" akibat penciptaan kemubaziran tadi jelas terbayang.
OK? Mari kita tetap berkeinginan, tetap berpengharapan, tetap berambisi, tetap berobsesi, karena itu "wajib". Tapi, letakkan itu semua dalam kadar yang tak berlebihan, dalam kadarnya yang bijaksana.
Selama memang dirasa mampu, mari kita kejar. Jangan sampai kita justru menciptakan mudharat, padahal tujuan kita adalah menciptakan manfaat.
Salam,
Fajar S Pramonoilustrasi foto : http://i203.photobucket.com