--Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?--
Minggu lalu, seorang kawan menawarkan sebuah "alat" untuk menge-test perasaan : Apakah Anda Bahagia dengan Hidup Saat Ini? Anda bisa lihat di http://roniyuzirman.blogspot.com/2008/12/tes-apakah-anda-bahagia-dengan-hidup.html. Isinya tentang "tantangan" untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Robert Holden, di mana skor akhirnya akan menunjukkan apakah Anda masuk kepada kategori
"tidak puas pada kehidupan saat ini", "tidak menikmati kehidupan saat ini", atau memang sudah "puas dan bahagia dengan kehidupan saat ini".
--Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?--
Minggu lalu juga (Jum'at 26/12/08), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat --Rektor UIN Syarif Hidayatullah-- menulis di Harian SINDO : The Art of Happiness. Berkisah bahwa untuk bahagia, diperlukan sebuah ketrampilan dan penghayatan seni. Ketrampilan dan seni untuk merangkai dan memaknai potongan serta aktivitas kita sehari-hari dengan kecerdasan, kejujuran pada diri sendiri, serta kreativitas untuk menggubah hal-hal yang tampaknya kecil agar menjadi besar dan bermakna.
--Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?--
Minggu lalu juga (Sabtu 27/12/08), Agung Adiprasetyo --CEO Kompas Gramedia-- menulis dalam kolom Kopi Sabtu Pagi-nya di Harian KONTAN, tentang : Memburu Kebahagiaan. Sebuah renungan yang diawali dengan sitiran kalimat dalam film The Pursuit of Happyness --sebuah pengisahan hidup seorang Christopher Gardner, seorang tuna wisma dan single parents yang berjuang dalam hidup bersama anaknya hingga berhasil menjadi jutawan dan CEO sebuah perusahaan stockbroker ternama di Amerika--, "Tuhan, jangan singkirkan gunung di hadapanku, tetapi berilah jalan dan kekuatan untuk melewatinya."
Di uraian selanjutnya, Agung mengingatkan, bahwa kebahagiaan, sesungguhnya memang adalah cara pandang. Cara pandang terhadap sebuah masalah. Sebuah persoalan. Lebih tepatnya lagi, sebuah fakta. Ketika melihat di sebuah gang becek beraroma selokan sekelompok pria berjoget sepenuh hati dengan mata yang merem-melek mengikuti alunan musik dari sebuah sound system di atas sebuah gerobak dangdut keliling, bisa diyakini mereka sedang sangat berbahagia.
Sebaliknya, banyak orang merasa tidak bahagia karena senantiasa khawatir. Khawatir akan kehilangan. Ya kehilangan kenikmatan duduk di first class pesawat terbang terbaik, kehilangan kenikmatan dilayani oleh banyak pembantu, takut kehilangan kemewahan gaya hidup, kesempatan makan enak, dan sebagainya. Kekhawatiran itu yang menciptakan rasa tidak bahagia.
Karenanya, di akhir tulisan Agung menulis : banyak orang memburu kebahagiaan di tempat-tempat yang "jauh". Padahal jangan-jangan, semua tergantung apa yang ada di dalam hati kita. Hati, yang tentunya amat sangat dekat sekali dengan kita. Bahkan "di dalam kita".
Saya mengamini pandangan Agung ini. Juga Pak Komaruddin, yang berkisah tentang bagaimana sebuah gitar menciptakan kebahagiaan (dan juga ketidakbahagiaan) bagi lima orang berbeda yang menerimanya. Juga epilog posting Uda Roni di atas : bahwa kebahagiaan dunia akhirat lah tujuan utama kita. Semua yang coba kira raih sesungguhnya hanyalah alat, sarana untuk mencapai kebahagiaan itu. "Dan, luar biasanya, ternyata kita bisa berbahagia saat ini juga, tidak perlu besok. Tidak perlu harus punya mobil Alphard dan rumah di Pondok Indah. Tidak perlu harus punya cabang sekian atau omzet sekian," tulis Uda.
Ya. Pertanyaan pertama saya memang : Apakah kita tidak bahagia dalam menjalani hidup ini?
Jangan-jangan iya. Buktinya, banyak orang yang menulis tentang "perburuan" kebahagiaan ini. Buktinya, banyak juga yang membacanya, termasuk saya.
Saya jadi ingat, saya punya beberapa koleksi buku tentang inspirasi kebahagiaan ini. Ada The Art of Happines at Work, karya inspiratif dari Dalai Lama yang bekerja sama dengan Howard C. Cutler, M.D. Ada juga buku The Pursuit of Happyness, versi lain media dari kisah Chris Gardner., yang ditulis bersama Quincy Troupe. Dan tentu saja yang terbaru : The 7 Laws of Happiness dari Arvan Pradiansyah. Saya sangat yakin, masih ada beberapa buku lain yang berkisah khusus tentang "perburuan" ini.
Pertanyaannya kemudian, dengan menengok kepada diri saya sendiri adalah : Sesungguhnya kebahagiaan sudah dimiliki banyak orang, hanya mereka belum bisa "menemukan" cara memetiknya. Begitukah?
Ya. Karena ternyata, seperti kata Uda Roni, Agung Adiprasetyo dan Pak Komaruddin Hidayat --juga Arvan dan Dalai Lama--, bahwa kita hanya "salah memandang". Salah memaknai. Banyak sumber kebahagiaan yang ada di sekitar kita, bahkan melekat pada kita, namun kita tidak bisa menyadari dan menemukannya, karena belum tahun "rahasia" itu.
So, buku-buku dan tulisan itu memang perlu dibuat, untuk memberi tahu kepada kita "rahasia perburuan" ini. Jangan sampai, kita merasa lelah berburu --bahkan akhirnya berujung keputusasaan--, namun tetap saja tidak mendapatkan sang kebahagiaan itu. Semoga kita terhindar dari yang demikian ini.
Analogkan kata "indah" dengan kata "bahagia" pada quote John Cage ini :
"Pertanyaan pertama yang saya tanyakan kepada diri sendiri saat sesuatu tidak terlihat indah (=bahagia)adalah : mengapa saya merasa hal itu tidak indah (=membahagiakan). Dan saya akan segera menemukan bahwa alasannya tidak ada."
Tak ada alasan memang, untuk tidak berbahagia. Karena kuncinya adalah kesyukuran. Mensyukuri apa yang ada di hadapan kita.
Tapi ingat, "mensyukuri keadaan" berbeda dengan "merasa puas". Jika kepuasan yang Anda cari, maka hakikat manusia yang tidak pernah puas yang akan menjawabnya. Hasilnya? Anda tidak akan pernah bersyukur.
Mensyukuri keadaan, mensyukuri nikmat, tidak berarti menghentikan usaha pencapaian yang lebih tinggi. Ini yang perlu kita ingat bersama.
"Dua orang menatap keluar dari jeruji yang sama : yang seorang melihat lumpur dan yang lain melihat bintang." (Frederick Langbridge).
Kalimat inspiratif ini juga tidak hanya cocok untuk menggambarkan sebuah optimisme ataupun pikiran positif. Ia juga menyiratkan sebuah esensi, bahwa persepsi orang, tergantung dari cara memandangnya.
Dan saya menetapkan tekad, bahwa saya akan tetap memandang berbagai kondisi melalui sudut pandang kesyukuran, yang saya yakini akan senantiasa membahagiakan.
Jadi, sekali lagi, apakah kebahagiaan perlu kita buru di tempat yang jauh?
Salam perenungan,
Fajar S Pramono
Ilustrasi : http://docwhisperer.files.wordpress.com