Judul : Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Penerbit Mizan, Bandung
Terbit : Cetakan 1, Maret 2009
Tebal : xxiv + 130 halaman
“Saya pernah melakukan kampanye setahun penuh dengan tema : ‘Jauhi politik’. Dengan subtema ‘Kerja! Kerja! Kerja!’.
Kampanye itu saya maksudkan agar orang ingat bahwa Negara ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan politik. Semakin banyak politikus akan semakin ruwet.”Itu kata-kata Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Group pada sampul belakang buku The MarkPlus Festival karya Hermawan Kartajaya (JP Books, 2008).
Rupanya, provokasi untuk (calon) politisi tak hanya dikampanyekan oleh Dahlan Iskan. Terbaru, seorang Arvan Pradiansyah –
public speaker, motivator, kolumnis, penulis buku
best seller, yang kini menjabat sebagai Managing Director dari sebuah lembaga pelatihan dan konsultasi di bidang SDM, kepemimpinan dan
life management—mengkampanyekan hal yang sama.
Tak tanggung-tanggung, ia mensosialisasikan provokasinya secara lugas dan tanpa tedheng aling-aling dalam buku terbarunya :
Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!Ada yang berbeda dengan buku Arvan kali ini. Arvan yang biasanya bertutur secara lembut, santun dan bahkan cenderung ”berbunga” dalam pemilihan kata dan kalimat dalam empat bukunya sebelum ini –
You Are a Leader, Life is Beautiful, Cherish Every Moment dan
The 7 Laws of Happiness--, kali ini terlihat cukup ”emosional”.
Dimulai dari pilihan judul, ia sudah tampak berani dan seolah ”menantang” sebuah arus yang jelas-jelas tengah bergerak ke hilir tertentu : Pemilihan Umum. Baik itu Pemilu Legislatif yang dilaksanakan 9 April 2009 ini, maupun pemilihan presiden yang akan diselenggarakan sesudahnya.
Provokasi Arvan juga langsung mengemuka demi melihat pilihan judul bab yang menohok para (calon) politisi. Lihatlah di antaranya :
Jadi Caleg, Buat Apa?;
Poli + Tikus;
Penyakit Politisi Kita : AIDS;
Saya Tidak Akan Mau Jadi Politisi;
Kepentingan Rakyat? Hareee Geneee...;
Kita Lebih Beruntung daripada Politisi; dan
Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Politisi!Sebagai ”pakar” kebahagiaan, tentu Arvan tak lupa untuk membahas
case yang diangkatnya kali ini dari sudut pandang
Laws of Happiness, dalam bab
Politik vs Kebahagiaan.
Kapan politisi merasa berbahagia? Menurut Arvan, pertama, ketika lawan politiknya mengalami masalah. Kedua, ketika mereka mendapat keberuntungan dan kemenangan. Sebaliknya, ada dua hal pula yang tidak membahagiakan bagi politisi. Pertama, ketika lawan politiknya menang, dan kedua, ketika mereka mengalami musibah.
Kesimpulannya, rumus kebahagiaan bagi para politisi adalah : (1) susah kalau melihat lawan politik senang, dan (2) senang kalau melihat lawan politik susah.
Padahal, kata Arvan, kebahagiaan karena alasan yang ”buruk” pada dasarnya bukanlah kebahagiaan. Ketika Anda berhasil korupsi, apakah Anda berbahagia? Ketika Anda berselingkuh dan rumah tangga tetap utuh, apakah itu kebahagiaan?
Bukan. Itu adalah kesenangan. Dan kesenangan tidak sama dengan kebahagiaan. Dalam bab tersebut, Arvan menunjukkan perbedaannya.
Kelugasan Arvan juga tampak pada sinismenya tentang janji para politisi untuk sesegera mungkin berjuang untuk rakyat begitu mereka terpilih sebagai legislator. Ia sangat yakin, bahwa dengan pola kampanye yang jor-joran dan menghabiskan begitu banyak ”modal” sebagaimana tampak pada kampanye di negeri ini, maka diyakini akan ada sebuah ”perjuangan lain” sebelum para politisi itu benar-benar bekerja untuk rakyat. Apa perjuangan lain itu? Yakni, berjuang untuk mengembalikan ”modal” yang telah dikeluarkannya sebelum terpilih.
Sebuah logika yang sangat sederhana. Sebuah paradigma bisnis yang mendasar. Dus, kasus Al Amin Nasution, Yusuf Emir Faisal, Agus Tjondro ataupun Abdul Hadi Djamal adalah buktinya.
Tentang intisari politik itu sendiri, Arvan mengatakan, rumus dalam politik hanya satu : kepentingan. Dalam politik, memang tak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik. Padahal, semestinya yang abadi dalam kehidupan ini hanya satu : Tuhan. Sehingga, kalau para politisi menganggap kepentingan adalah keabadian, maka kepentingan sesaat telah menjadi Tuhan bagi para politisi tersebut. Dan ini adalah kesalahan yang mendasar!
Masih menurut Arvan, semestinya lembaga legislatif diisi oleh orang-orang profesional dalam bidangnya. Namun, demi melihat kondisi legislatif yang lekat dengan berbagai kepentingan yang pada akhirnya harus mengorbankan profesionalisme, para profesional itu lebih memilih berkarir di dunia swasta, di mana mereka benar-benar mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya secara obyektif.
Ketika para profesional itu memilih tidak masuk ke DPR atau DPRD, lantas siapa yang masuk ke sana? Silakan Anda jawab sendiri, kata Arvan.
Masalahnya sekarang, apakah sebegitu buruknya insan politik di negeri ini? Apakah di antara sebegitu banyak politisi tak ada politisi yang baik?
Kalau itu ditanyakan pada Arvan, maka ia akan menjawab tegas : ya. Lalu, insan-insan yang senantiasa ”bersih” dan senantiasa concern terhadap kepentingan rakyat, disebut apakah mereka?
Arvan tak menampik, tetap saja ada insan perpolitikan negeri yang baik. Namun, mereka itu bukanlah politisi. Mereka itu adalah negarawan, yang bagi Arvan, sangat berbeda –bahkan berlawanan– dari ”sekedar” politikus.
Membaca provokasi Arvan, kita disadarkan pada masih banyaknya kebusukan-kebusukan perilaku –bahkan prinsip hidup—yang berkelindan dalam gerak langkah politisi negeri ini. Sinis, bahkan sarkastis memang, apa yang dikatakan Arvan. Tapi, menurut saya, semua itu sangat bagus sebagai bahan perenungan untuk siapapun yang yang berniat untuk tampil dalam panggung politik.
Arvan juga mengingatkan kita, bahwa ketika kebahagiaan jangka panjang menjadi salah satu
goal (tujuan) dalam hidup ini, maka ada berbagai permasalahan yang harus kita pikirkan lebih jauh, daripada sekedar mencari kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu dan sementara. Toh, dunia politik bukanlah dunia yang harus dijauhi, jika memang ia dijalankan dalam konteksnya yang baik dan bermartabat.
Sebagai sebuah provokasi, saya rasa pilihan bentuk tulisan yang lugas dari Arvan ini merupakan pilihan yang tepat. Sebuah pilihan, yang justru bisa memperjelas penyadaran-penyadaran dasar yang seharusnya dimiliki oleh siapapun kita. Baik yang apolitis, sekedar pengamat, maupun mereka yang sudah telanjur masuk dalam pusaran politik.
Salam buku,
Fajar S PramonoIlustrasi : hasil scanning