Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

PROSES


"Mari kita menikmati proses, dan bersyukur!"
Ini ajakan posting kali ini.

***

Perjalanan berangkat kerja yang menciptakan pergantian suasana membuat saya teringat beberapa hal. Satu di antaranya adalah : kebahagiaan menikmati proses. Menikmati langkah demi langkah yang mau tak mau harus kita lalui dalam sebuah pencapaian tujuan.

Perjalanan tol Cawang-Cibitung, misalnya.

Dimulai dari kilometer 0 (nol) di Cawang, terus berjalan ke arah Cikampek, guna menuju sebuah tujuan : exit tol Cibitung, di seputaran kilometer 24.

Tujuan sudah jelas. Yakni, exit tol Cibitung. Perkiraan waktu pun sudah jelas. Lebih kurang, maksimal 30 menit perjalanan santai. Di luar kejadian force majour tentunya. Tekad pun sudah terangkai bulat.

Lalu, mari kita nikmati proses. Tengoklah panduan kilometer yang terpasang pada pagar pembatas antara jalur tol Cawang-Cikampek dan Cikampek-Cawang. Kilometer nol! Dan, perjalanan menuju tujuan pun kita mulai.

Dua ratus meter berjalan. 0/200. Artinya, kilometer ke-0 meter ke-200. Maju lagi, 0/400. Kilometer ke-0 meter ke-400. Artinya, perjalanan kita sudah maju 200 meter lagi. Begitu seterusnya. Kilometer 1. Kilometer 2. Kilometer 3..., 3/400..., 5/600..., 7/800..., 11/600..., terus..., teruuus..., dan terus nikmati perjalanan 200 meter demi 200 meter untuk menuju kilometer ke-24!

Nikmati setapak demi setapak langkah itu...
Sadari betapa menyenangkannya 200 meter demi 200 meter yang bisa kita raih dan kita capai dalam tahap demi tahapnya....
Syukuri kilometer demi kilometer yang telah kita lewati dalam rangka menuju tujuan kita di kilometer 24....
Yakinkan diri bahwa tujuan itu akan bisa kita capai dengan meneguhkan tekad dan pemahaman, bahwa kilometer ke-24 akan kita capai setelah kita lalui 200 meter demi 200 meter..., kilometer demi kilometer..., dan satu demi satu....
Sembari pastikan bahwa ketika kita berhati-hati, tak perlu terburu-buru karena cukupnya waktu pencapaian tujuan, kita akan sampai pada tujuan tersebut dalam waktu yang juga telah diperkirakan. Maksimal, 30 menit!

Nikmat sekali rasanya! Itu yang saya rasakan.

Atau ketika Anda yang tinggal di Jakarta berencana ke Semarang lewat jalur utara Jawa. Nikmati step by step yang pastinya akan Anda lalui. Cikampek, Indramayu, Cirebon, Brebes, dan seterusnya, sampai ke tujuan akhir di Semarang.

Sesekali, cobalah sandingkan peta kendati Anda tidak memerlukan peta lagi karena sudah sangat hafal jalur yang akan Anda lalui itu. Coretlah kota demi kota yang ada pada jalur perjalanan Anda, satu demi satu, maka Anda akan bisa melihat lebih jelas bahwa, "Oo.. saya sudah menempuh seperempat jarak perjalanan menuju Semarang." Bahwa, "Alhamdulillah, saya sudah menempuh separuh perjalanan dari pencapaian tujuan saya : Semarang." Bahwa, "Puji Tuhan, tinggal beberapa kota kecamatan lagi yang harus saya lalui untuk menuju goal saya : Semarang. Terima kasih, Tuhan..."

Sekali lagi, nikmatilah proses!

Maka setidaknya kita akan punya beberapa hal :

Pertama, kita akan selalu diyakinkan, bahwa proses yang kita lalui adalah benar menuju tujuan yang telah ditetapkan. Ketika perjalanan ini dimulai dari nol dan tujuan kita adalah 24, maka pergerakan mulai dari angka 0, kemudian 1, lalu 2 dan seterusnya adalah sebuah indikasi bahwa kita melangkah maju dan benar.

Namun, jika kita sudah sampai kilometer 14 dan berikutnya kita lihat bahwa kita justru kembali berada pada kilometer 12, berarti ada yang salah. Kita mundur! Lalu, cobalah periksa, apa yang salah? Jangan-jangan kita salah arah? Jangan-jangan perjalanan ini melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan? Jika benar bahwa kita salah arah, maka perbaiki langkah kita, dan pastikan kita kembali menuju track yang benar ke arah tujuan.

Kedua, kita akan tahu, sampai di mana kita dalam konteks perjalanan mencapai tujuan itu. Kita bisa gunakan "petunjuk kilometer" tadi sebagai bahan evaluasi jangka pendek.
"Ah, kita masih harus banyak berjuang!"
"Alhamdulillah, sudah separuh lebih perjalanan kita!"
"Tinggal sedikit lagi, maka saya akan mencapainya!"

Kesadaran bahwa kita menuju tujuan yang benar, akan semakin membangkitkan semangat kita dalam mewujudkan tujuan itu. Kesadaran bahwa semakin hari kita semakin dekat dengan tujuan kita, akan memompakan adrenalin luar biasa yang semakin memacu gelora semangat untuk menggapai tujuan.

Ketiga, kesyukuran. Dengan "mengevaluasi" langkah demi langkah dalam perjalanan kita, maka kita bisa merasakan bahwa kasih sayang Tuhan mengiringi perjalanan mencapai tujuan ini. Karena hanya dengan petunjuk dan keridloan-Nya, langkah demi langkah itu bisa kita lampaui. Tak ada 200 meter berikutnya jika Tuhan memang tidak berkehendak untuk kita. Dua ratus meter, sangat cukup bagi Tuhan untuk menghentikan perjalanan kita. Tuhan bisa beri kita kecelakaan. Tuhan bisa beri kita kerusakan mesin. Tuhan bisa beri kita ban yang kempes. Dan sebagainya.

Selalu ada wilayah kekuasaan Tuhan dalam setiap langkah kita. Dan itu adalah hak prerogatif Tuhan! Mau diberikan sebagai ujian, mau diberikan sebagai hukuman, atau bahkan mau diberikan sebagai anugerah, itu rahasia Tuhan.

Intinya, tanpa ridlo Beliau, tak akan ada pencapaian berikutnya.

Gambaran perjalanan di atas, sama sekali tak beda dengan perjalanan hidup kita. Kita punya tujuan, dan sesungguhnya kita punya "peta" tentang apa-apa yang harus kita lalui.

"Pecahlah" tujuan hidup ini dalam sebuah "tujuan-tujuan kecil". Tujuan-tujuan jangka pendek. Kalau tadi kita harus menempuh 24 kilometer, pecahlah tujuan tersebut menjadi "kita harus menuju kilometer 1". Menjelang sampai, tetapkan tujuan jangka pendek berikutnya : kilometer 2. Besyukurlah ketika kita mencapai kilometer 1, dan mulailah perjalanan selanjutnya. Begitu seterusnya.

Melalui tujuan-tujuan hidup jangka pendek yang tetap terkerangka dalam upaya pencapaian tujuan jangka panjang itulah, kita akan bisa menikmati proses, dan mendapatkan --setidaknya-- tiga hal di atas.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.adaevidencelibrary.com

BERKORBAN?


Malam tadi, saya dengar dari Mario Teguh, “Berkorban itu sesungguhnya lebih untuk menambah kemuliaan bagi diri kita sendiri.”

Ia mencontohkan –dalam bahasa saya-- : kalau kita memberikan sebagian harta kita untuk zakat, infaq, sodaqoh, sebenarnya kita justru sedang membayar kewajiban dalam rangka “membersihkan” harta kita, sehingga apa yang kita miliki menjadi barokah bagi kita. Dengan “kesyukuran” yang justru sering salah kaprah kita sebut dengan “pengorbanan” itu, kita berhak menunggu janji Tuhan : bersyukurlah, maka akan Ku-tambahkan nikmatmu.

Lalu, ketika kita “berkorban” untuk anak istri atau keluarga kita, kepada siapa sesungguhnya kebahagiaan itu akan kembali? Tak hanya kepada mereka yang kita “korbani”, bukan? Namun juga pada kita. Bahkan, seringkali perumpamaan seorang tua mengatakan, ”Meskipun kita lapar, betapa bahagianya melihat wajah anak-anak kita yang ceria karena mereka bisa menikmati nasi bungkus yang kita bawa pulang, yang sesungguhnya merupakan jatah lembur kita di kantor....”

Dengan demikian, adakah ”pengorbanan” itu yang sebenarnya?

Saya sepakat, bahwa istilah ”pengorbanan” sejatinya muncul karena adanya negative mindset yang mengatakan bahwa pengorbanan identik dengan sebuah pengurangan. Istilah ”berkorban”, bahkan seringkali mengandungkan sebuah unsur ”keterpaksaan”; betapapun kecilnya.

Jika kita memberikan sebagian rizki kita kepada sesama, maka yang di-mindset-kan adalah harta kita akan berkurang. Jika kita sebagai seorang kepala rumah tangga memberikan waktu dan tenaga kita untuk bekerja demi keluarga, maka kita katakan bahwa kesempatan untuk diri kita sendiri menjadi berkurang karenanya. Jika kita relakan sesuatu yang kita miliki kepada kekasih kita, maka kita menyebutnya bahwa kita telah berkorban untuknya.

Padahal, semua itu adalah ”kewajiban”. Tak ada pengurangan di sana. Siapapun yang memiliki harta dunia, memang diwajibkan menyisihkan sebahagiannya, karena dalam hartanya terdapat hak orang lain. Barang siapa berani mengajak berkeluarga hingga berketurunan, maka kewajibannyalah mencarikan nafkah bagi orang-orang yang kepadanya “dititipkan” kehidupannya. Bagi yang ingin mendapatkan keberlanjutan hubungan cinta dengan sang kekasih, maka wajib baginya untuk memberi dan melindungi.

Jadi, bagaimana kalau kita ganti kata “berkorban” dengan “kewajiban untuk memberi”? Ketika kewajiban itu dimaknai sebagai keharusan yang datangnya dari Sang Maha Pemberi Rizki, Sang Maha Pemberi Nafkah, Sang Maha Pemberi Cinta, maka kita bisa lepaskan unsur keterpaksaan. Serasa tak ada yang perlu ”dikorbankan” di situ.

Kita ini hanyalah ”jalan rizki” bagi orang-orang yang mungkin saat ini sedang kekurangan. Kita ini adalah ”sarana” bagi kenyamanan hidup yang memang telah menjadi ”jatah” dari Tuhan untuk anak istri kita. Kita sekedar ”saluran” cinta kasih dan perlindungan yang memang seharusnya menjadi hak bagi kekasih kita.

Jadi, tak perlu ada pamrih memang.

Kembali kepada konteks bahwa memberi adalah untuk meningkatkan kemuliaan diri, memang seolah ada sesuatu yang ”rancu”. Ketika ketanpapamrihan itu merupakan sesuatu yang akan kembali kepada kita, maka ia semestinya disebut dengan ”ikhtiar”. Upaya. Bukan pengorbanan. Upaya yang disertai dengan sebuah keikhlasan, di mana nantinya akan kita lengkapi dengan kepasrahan.

Ikhtiar untuk apa? Untuk membahagiakan diri kita sendiri, melalui kebahagiaan orang lain. Sekali lagi, melalui kebahagiaan orang lain. Bukan penderitaan orang lain.

Repotnya, saat ini banyak orang merasa bahagia karena merasa berhasil mengalahkan orang lain. Banyak caleg yang merasa begitu senang karena ia berhasil terpilih dan menyisihkan saingan-saingannya, bahkan dalam satu partainya sendiri. Banyak pengusaha yang merasa bahagia karena berhasil membuat bangkrut rival bisnisnya, sehingga ia bisa sendirian berkarya sebagai leader di bidangnya.

Mestinya, si caleg baru bisa berbahagia ketika ia bisa benar-benar mengabdikan dirinya bagi nusa bangsa, dan membuat rakyat di negara ini menjadi makmur sejahtera. Kenapa sih, si pengusaha tidak berbahagia ketika ia justru bisa mengangkat harkat martabat sesama pengusaha untuk bersama-sama menjadi kumpulan pengusaha yang sukses?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://media.photobucket.com

POTRET


Ketika membolak-balik halaman buku Sangguru; Menyapa Hati-nya Aribowo Suprajitno Adhi (2009), saya terpancang pada sebuah grafis ilustrasi beserta esai penjelasannya.

Ilustrasi berupa gambar seorang ibu yang berjalan terbungkuk-bungkuk karena membawa beban berat berupa tumpukan tinggi kardus bekas di punggungnya. Sekilas, kita akan sampai pada kesimpulan yang nyaris sama : ibu itu seorang pemulung, yang hidupnya berkesusahan.

Namun, esai penjelasannya bertuliskan kalimat yang sangat bijak : jika kita hanya melihat gambar tersebut, maka bisa jadi yang muncul adalah rasa kasihan, dan hidup si ibu yang tampak tak bahagia. Tapi, kesan ini bisa sangat lain ketika pada sore hari kita melihat sang ibu bersuka cita, bercengkerama bersama keluarganya. Hanya kebahagiaan dan kesukacitaan yang nampak pada keluarga itu, lepas dari kondisi ekonominya yang mungkin morat marit, karena kebahagiaan sesungguhnya memang tak selalu hadir seiring sejalan dengan kelimpahan materi.

Itu satu pelajaran.

Pelajaran kedua, berasal dari "kesimpulan" yang penulis buku itu sampaikan.

"Setiap potret atau snapshot kehidupan tidak bisa menjadi kesimpulan hidup yang kita jalani," tulisnya.

Benar juga! Kita tidak bisa memandang keseluruhan hidup si ibu tadi hanya dengan satu jepretan dan satu kali pandangan saja. Kita mungkin saja tak tahu, bahwa prosentase kebahagiaan dalam hidupnya selama 1 x 24 jam jauh didominasi kebahagiaan daripada "penderitaan" yang terlihat kasat mata.

Bahkan, apa yang terlihat kasat mata itu pun bisa jadi salah. Benarkah si ibu sangat merasa terpaksa ketika menjalani "ritual"-nya berupa mengumpulkan kardus bekas sebagaimana pemulung lainnya, dan lantas kemudian menjualnya kepada pengepul barang bekas? Sangat bisa jadi kita salah.

Ketika menyadari bahwa perjuangan mencari nafkah adalah sebuah ibadah dan konsekuensi untuk membahagiakan keluarga, maka seseorang akan bisa dengan sangat bahagia melakukannya. Ada keikhlasan di sana. Ada kerelaan yang menguatkan di sana.

So, bahagia tidaknya hidup seseorang, tak bisa kita lihat dari sepotong potret kehidupannya saja. Terlebih lagi, jika potret itu adalah potret dua dimensi yang tak mampu menjelaskan seperti apa isi hati obyek jepretan itu.

Selain tak bisa menjelaskan "dimensi ketiga", sebuah potret juga sekedar merupakan potongan suatu fase dalam kehidupan ini.

Ketika dalam potret itu kita terlihat kurus, apakah akan selalu demikian sepanjang hidup kita?

Ketika sebuah "potret" menggambarkan kesusahan hidup Anda di masa lalu, apakah potret itu akan selalu sama dengan gambaran Anda yang saat ini sudah hidup layak dan mapan secara ekonomi?

Sebaliknya, apakah ketika dalam potret masa lalu kita yang terlihat penuh kemakmuran, juga akan senantiasa terlihat samakah dengan potret kita saat ini?

Belum tentu.

Potret juga hanyalah sebuah penggalan episode kehidupan, yang tak bisa disimpulkan akan menjadi gambaran kondisi kita sepanjang waktu kehidupan.

Banyak contoh kasus yang menunjukkan hal tersebut.

Seorang sahabat --Hendrik Lim-- berkisah dalam bukunya rehat dulu lah... (2007). Ia memiliki seorang kawan yang ter-PHK berkali-kali, namun justru menjadikannya semakin sukses.

Dari sebuah perusahaan pembiayaan yang tak terlampau besar, si kawan ter-PHK akibat krisis moneter. Terpaksa ia menganggur. Namun, dari pesangon yang tak terlampau mengecewakan, justru ia mampu melunasi kredit kepemilikan rumahnya.

Akhirnya ia masuk ke sebuah bank milik Bakrie Group. Beberapa tahun kemudian, bank tersebut terpaksa diserahkan kepada BPPN. Si kawan pun terpaksa menganggur kembali. Namun, ajaibnya, pesangonnya sangat manis, sehingga si kawan ini justru bisa melunasi kredit mobilnya.

Nasib baik terus berpihak. Ia termasuk yang direkrut oleh BPPN, dengan status pekerja kontrak lima tahun. Ketika BPPN dilikuidasi oleh pemerintah, ia kembali menerima pesangon yang menggembirakan. Ia bahkan pindah rumah ke sebuah kawasan yang jauh lebih elite.

Nasib baik terus menaungi si kawan ini. Dari BPPN, ia termasuk orang yang direkrut sebagai staf ahli PPA, lembaga "penerus" BPPN. Saat ini, olah raganya sudah berganti menjadi golf, mobilnya sudah berganti menjadi Mercy. Padahal ketika di perusahaan pertama, ia terpaksa lebih banyak naik ojek!

Jadi, tak ada kesimpulan yang bisa dibuat dengan satu snapshot saja. Satu kepingan puzzle, tak bisa menggambarkan seperti apa gambar utuh puzzle tersebut.

Tentu kita punya banyak contoh di sekitar kita. Baik tentang orang yang "tak terlihat sebagaimana dia terlihat" --seperti ibu tadi--, ataupun seseorang yang berubah nasib secara signifikan dalam hidupnya --seperti kawan rekan Hendrik Lim tadi--.

Sekali lagi, jangan pernah menyimpulkan apapun, hanya dari selembar potret saja. Ada rahasia dan kekuatan Tuhan di sana.


Salam,

Fajar S Pramono

Ilustrasi ; http://www.swaberita.com

MENGALAHKAN DIRI SENDIRI


Kalaulah ada pertanyaan : diri kita sendiri ini, musuh ataukah sahabat?

Kalau kita sering mendengar anjuran, "Cobalah bersahabat dengan diri Anda sendiri", apakah itu berarti pada suatu ketika diri kita ini adalah "musuh" kita sendiri? Mungkinkah kita bisa bermusuhan dengan diri kita sendiri?

Jika sekedar menjawab pertanyaan yang secara harfiah membingungkan itu, kita pasti akan bingung juga. So, mungkin hal itu lebih enak kalau diperjelas dengan contoh.

Ketika kuliah, saya indekost. Demi melihat seorang teman kost --kebetulan si teman ini masih kelas 3 SMA-- tak pernah mau belajar, bahkan terus saja menuruti keinginannya untuk bermain, nonton, dan sebagainya meskipun dalam waktu sangat dekat akan menghadapi ujian akhir, saya heran. Padahal juga, "historikal" hasil pendidikannya selama kelas 1 sampai dengan kelas 3 tidak pernah menunjukkan prestasi yang boleh dikata baik.

Pada akhirnya, saya menulis sebuah esai sederhana, yang ketika iseng saya kirim ke Harian Suara Merdeka, dimuat di rubrik "Esai Lepas" pada tanggal 25 Mei 1997. Judulnya sama dengan judul posting kali ini : Mengalahkan Diri Sendiri.

Dalam esai itu, saya mengatakan bahwa ada satu hal yang seringkali sangat berat untuk kita jalani, yakni yang saya sebut dengan "mengendalikan keinginan, kehendak dan nafsu untuk melakukan sesuatu, yang sekiranya akan menghambat cita-cita."

Dengan contoh kasus teman saya di atas, saya katakan bahwa teman tersebut tidak bisa mengalahkan keinginan untuk terus bermain yang tak bermanfaat, nonton yang semestinya bukan kebutuhan pokok atau minimal bisa ditunda terlebih dahulu, padahal kegiatan yang pada akhirnya dipilihnya itu bisa jadi membuat dia gagal dalam ujian akhir sekolahnya. Ketika itu gagal, maka sebuah cita-cita yang saya yakin sebenarnya ada tercetak dalam benak dia, akan terhambat pencapaiannya, atau bahkan sama sekali hanya jadi mimpi di siang bolong.

So, dalam case tersebut, saya mengatakan bahwa teman saya tadi belum bisa mengendalikan keinginan dirinya untuk sesuatu yang jauh lebih penting. Pendek kata, ia belum bisa mengalahkan dirinya sendiri.

***

Saya kembali tersentak oleh pentingnya kesadaran itu ketika dini hari tadi saya mulai membaca buku The Last Lecture (Pesan Terakhir) karya Randy Pausch. Seorang profesor di Carnegie Mellon University, yang dibantu Jeffrey Zaslow --kolumnis di Wall Street Journal-- dalam penulisan bukunya itu.

Pausch, divonis bahwa usianya tinggal 6 bulan. Itu akibat kanker prankeas yang dideritanya. Ada sepuluh tumor yang menghinggapi levernya. Tapi lihatlah apa yang ia perbuat dalam "jatah hidup"-nya yang tinggal sedikit itu. Ia sama sekali tidak menyerah, dan justru mampu memanfaatkan waktu yang sempit itu menjadi sebuah prestasi yang luar biasa, yang membuat hidupnya jauh lebih baik, dan bahkan menginspirasi banyak sekali orang di dunia ini.

Poin utama yang saya peroleh adalah : Pausch tidak pernah menyerah, dan tidak pernah mau "mengalah" pada dirinya sendiri.

"Meski mudah saja kalau saya mau mengasihani diri, itu tidak ada baiknya untuk mereka, termasuk diri saya," kata Pausch.

"Mereka" yang dimaksudkan dalam kalimat Pausch tadi adalah istri dan ketiga anaknya.

***

Ada banyak cerita yang nyaris serupa, bahwa prestasi terbaik seringkali diperoleh justru dalam kondisi yang penuh keterbatasan.

Beberapa kisah pernah saya angkat dalam posting-posting saya. Kisah Ryan Farrington, seorang pelari muda Inggris yang sesungguhnya menderita distonia (posting tanggal 29/12/2008); Natalie du Toit, perenang maraton asal Afrika Selatan yang hanya memiliki satu kaki. Juga Maarten van der Weijden, perenang Belanda yang memperoleh emas dalam nomor renang 10 km maraton di Olimpiade Beijing 2008, yang sesungguhnya adalah penderita leukimia akut sejak 2001 (posting tanggal 23/08/2008).

Pertanyaan bagi kita semua : apakah kemampuan untuk mengalahkan diri sendiri ini baru akan muncul dalam keadaan "terpaksa" ataupun dalam kondisi penuh "keterbatasan"?

Semestinya tidak. Jika dalam kondisi yang serba terbatas saja mereka bisa menorehkan prestasi dengan cara mengalahkan dirinya sendiri, kenapa kita yang relatively lebih lenjustru tidak bisa?

Bukankah ketika tidak ada kungkungan keterbatasan, dan di sisi lain kita mampu mengalahkan diri sendiri, maka hasil yang bisa diharapkan menjadi lebih tinggi?

Namun kawan, inilah yang banyak terjadi. Kesyukuran atas keserbaadaan kita justru seringkali tidak kita ungkapkan dalam bentuk maksimalitas usaha. Maksimalitas untuk mengatasi keinginan negatif, yang bisa mengalahkan kebutuhan positif.

So, kesimpulannya, diri kita sendiri bisa menjadi "musuh" ataupun "sahabat".

Lalu, kapan diri kita menjadi "musuh" bagi diri kita sendiri?

Tentu, ketika keinginan negatif kita yang jelas-jelas mampu menghambat pencapaian cita-cita kita, justru mendapat tempat yang lebih layak dan mendapat pemenuhan yang lebih maksimal dibanding kebutuhan positif yang menjamin pencapaian cita-cita tersebut.

Jadi, mau kita tetapkan sebagai apakah diri kita sendiri? Sebagai sahabat, atau sebagai musuh?

Mari belajar dari mereka.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : Randy Pausch bersama istri dan ketiga anaknya (http://a.abcnews.com)

PEDOMAN LENGKAP KULINER JOGJA


Judul : Jalan-Jalan Kuliner Aseli Jogja
Penulis : Suryo Sukendro
Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta
Terbit : Cetakan I, 2009
Tebal : iv + 123 halaman


Dunia wisata kini telah berkembang ke arah wisata kuliner. Jika dulu hanya lokasi dan obyek wisata berdasarkan keindahan atau keunikan alam yang dikunjungi, kini wisata bersama berdasarkan keunikan dan kekhasan makanan di sebuah daerah laris dilakukan dan mampu ”dijual” oleh para pemandu wisata.

Bersamaan dengan itu pula, semakin banyak muncul literatur-literatur berbasis makanan ataupun keunikan makanan dari suatu daerah tertentu. Bandung, Surabaya, Solo dan Jogja merupakan salah sedikit dari banyak daerah lain di Jawa yang memiliki kekhasan dan bahkan ”keagungan” suatu jenis makanan. Di luar Jawa, tentu kita tak dapat menafikan kegairahan wisata kuliner di Makasar, Manado ataupun Medan.

Di antara deretan literatur berupa buku petunjuk wisata kuliner, buku Jalan-Jalan Kuliner Aseli Jogja ini hadir. Buku yang ditulis Suryo Sukendro ini melengkapi beberapa literatur lain yang telah mengangkat kesohoran makanan asli Jogja, seperti Wisata Jajan Yogyakarta yang diterbitkan oleh Intisari, atau minimal berupa Katalog Kuliner Jogja yang digagas KABARE Magazine. Itu belum termasuk berbagai buku lain yang isinya merupakan ”kolaborasi” berbagai makanan khas berbagai daerah di luar Jakarta.

Apa sebenarnya manfaat yang bisa diambil oleh kita –terutama orang Jogja sendiri? Pertama jelas, ini adalah wahana promosi ”gratis” bagi para pengusaha kuliner di daerah bekas Kerajaan Mataram ini. Tak hanya itu, kehadiran buku kuliner ini serta merta memercikkan keinginan untuk sekaligus mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal masih sangat kental nuansa kerajaan dan budaya Jawa-nya.

Kedua, buku-buku seperti ini merupakan tour guide yang sangat efektif. Apalagi dalam beberapa literatur di atas, disertakan pula peta-peta lokasi di mana obyek wisata kuliner itu berada. Khusus untuk buku terbitan Media Pressindo ini, guidance-nya jauh lebih lengkap. Selain denah lokasi untuk masing-masing obyek, ia juga memuat daftar jalur bis di Jogja, jalur dan halte bus Trans Jogja, jadwal kereta api serta pesawat dari dan menuju Jogja, daftar hotel, bahkan nomor-nomor telepon penting di kota pelajar ini.

Dengan ukuran buku yang tak terlampau besar dan tak terlampau tebal, maka buku ini bisa benar-benar digunakan sebagai buku saku wisata Yogyakarta.

Manfaat ketiga, buku semacam ini bisa berperan sebagai salah satu pelestari kebudayaan dan kekhasan makanan Jogja. Sebab, tak mudah bagi siapapun untuk bisa mempertahankan kekhasan makanan daerah di manapun, terlebih lagi jika harus bicara tentang generasi yang mau tak mau harus berganti.

Ingatan ataupun memorabilia sebagaimana dimunculkan oleh buku semacam ini tentu sangat membantu bagi generasi penerus untuk bisa terus menciptakan nuansa nostalgia tanpa harus tertinggal oleh gerak roda jaman yang semakin modern. Karena perlu diingat, bahwa kekhasan tidak hanya sekedar muncul dari rasa khas makanan itu sendiri, tapi juga nuansa asli yang melingkupi kesehariannya.

Khusus buku ini sendiri, kekomplitan data juga muncul dari kejelian penulis untuk mengangkat beberapa makanan khas yang belum dimunculkan beberapa buku sebelumnya. Seperti enting-enting gepuk cap Macan, geplak, jadah tempe, lumpia nyamleng, juga yangko.

Secara keseluruhan, buku ini akan mampu menjadi pegangan para wisatawan, ataupun bacaan bagi mereka yang ingin sekedar bernostalgia dengan kota Jogja. Sayangnya, foto-foto yang ada tidak ditampilkan secara berwarna. Padahal, sebagaimana produk fashion, keindahan fotografi dan ”pewarnaan” makanan dalam sebuah ”daftar menu” sangat mempengaruhi selera para pembaca dan calon penikmatnya.


Salam buku,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : hasil scanning

PROVOKASI UNTUK (CALON) POLITISI


Judul : Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!
Penulis : Arvan Pradiansyah
Penerbit : Penerbit Mizan, Bandung
Terbit : Cetakan 1, Maret 2009
Tebal : xxiv + 130 halaman


“Saya pernah melakukan kampanye setahun penuh dengan tema : ‘Jauhi politik’. Dengan subtema ‘Kerja! Kerja! Kerja!’.
Kampanye itu saya maksudkan agar orang ingat bahwa Negara ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan politik. Semakin banyak politikus akan semakin ruwet.”


Itu kata-kata Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Group pada sampul belakang buku The MarkPlus Festival karya Hermawan Kartajaya (JP Books, 2008).

Rupanya, provokasi untuk (calon) politisi tak hanya dikampanyekan oleh Dahlan Iskan. Terbaru, seorang Arvan Pradiansyah –public speaker, motivator, kolumnis, penulis buku best seller, yang kini menjabat sebagai Managing Director dari sebuah lembaga pelatihan dan konsultasi di bidang SDM, kepemimpinan dan life management—mengkampanyekan hal yang sama.

Tak tanggung-tanggung, ia mensosialisasikan provokasinya secara lugas dan tanpa tedheng aling-aling dalam buku terbarunya : Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi!

Ada yang berbeda dengan buku Arvan kali ini. Arvan yang biasanya bertutur secara lembut, santun dan bahkan cenderung ”berbunga” dalam pemilihan kata dan kalimat dalam empat bukunya sebelum ini –You Are a Leader, Life is Beautiful, Cherish Every Moment dan The 7 Laws of Happiness--, kali ini terlihat cukup ”emosional”.

Dimulai dari pilihan judul, ia sudah tampak berani dan seolah ”menantang” sebuah arus yang jelas-jelas tengah bergerak ke hilir tertentu : Pemilihan Umum. Baik itu Pemilu Legislatif yang dilaksanakan 9 April 2009 ini, maupun pemilihan presiden yang akan diselenggarakan sesudahnya.

Provokasi Arvan juga langsung mengemuka demi melihat pilihan judul bab yang menohok para (calon) politisi. Lihatlah di antaranya : Jadi Caleg, Buat Apa?; Poli + Tikus; Penyakit Politisi Kita : AIDS; Saya Tidak Akan Mau Jadi Politisi; Kepentingan Rakyat? Hareee Geneee...; Kita Lebih Beruntung daripada Politisi; dan Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi Politisi!
Sebagai ”pakar” kebahagiaan, tentu Arvan tak lupa untuk membahas case yang diangkatnya kali ini dari sudut pandang Laws of Happiness, dalam bab Politik vs Kebahagiaan.

Kapan politisi merasa berbahagia? Menurut Arvan, pertama, ketika lawan politiknya mengalami masalah. Kedua, ketika mereka mendapat keberuntungan dan kemenangan. Sebaliknya, ada dua hal pula yang tidak membahagiakan bagi politisi. Pertama, ketika lawan politiknya menang, dan kedua, ketika mereka mengalami musibah.

Kesimpulannya, rumus kebahagiaan bagi para politisi adalah : (1) susah kalau melihat lawan politik senang, dan (2) senang kalau melihat lawan politik susah.

Padahal, kata Arvan, kebahagiaan karena alasan yang ”buruk” pada dasarnya bukanlah kebahagiaan. Ketika Anda berhasil korupsi, apakah Anda berbahagia? Ketika Anda berselingkuh dan rumah tangga tetap utuh, apakah itu kebahagiaan?

Bukan. Itu adalah kesenangan. Dan kesenangan tidak sama dengan kebahagiaan. Dalam bab tersebut, Arvan menunjukkan perbedaannya.

Kelugasan Arvan juga tampak pada sinismenya tentang janji para politisi untuk sesegera mungkin berjuang untuk rakyat begitu mereka terpilih sebagai legislator. Ia sangat yakin, bahwa dengan pola kampanye yang jor-joran dan menghabiskan begitu banyak ”modal” sebagaimana tampak pada kampanye di negeri ini, maka diyakini akan ada sebuah ”perjuangan lain” sebelum para politisi itu benar-benar bekerja untuk rakyat. Apa perjuangan lain itu? Yakni, berjuang untuk mengembalikan ”modal” yang telah dikeluarkannya sebelum terpilih.

Sebuah logika yang sangat sederhana. Sebuah paradigma bisnis yang mendasar. Dus, kasus Al Amin Nasution, Yusuf Emir Faisal, Agus Tjondro ataupun Abdul Hadi Djamal adalah buktinya.

Tentang intisari politik itu sendiri, Arvan mengatakan, rumus dalam politik hanya satu : kepentingan. Dalam politik, memang tak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik. Padahal, semestinya yang abadi dalam kehidupan ini hanya satu : Tuhan. Sehingga, kalau para politisi menganggap kepentingan adalah keabadian, maka kepentingan sesaat telah menjadi Tuhan bagi para politisi tersebut. Dan ini adalah kesalahan yang mendasar!

Masih menurut Arvan, semestinya lembaga legislatif diisi oleh orang-orang profesional dalam bidangnya. Namun, demi melihat kondisi legislatif yang lekat dengan berbagai kepentingan yang pada akhirnya harus mengorbankan profesionalisme, para profesional itu lebih memilih berkarir di dunia swasta, di mana mereka benar-benar mendapat kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya secara obyektif.
Ketika para profesional itu memilih tidak masuk ke DPR atau DPRD, lantas siapa yang masuk ke sana? Silakan Anda jawab sendiri, kata Arvan.

Masalahnya sekarang, apakah sebegitu buruknya insan politik di negeri ini? Apakah di antara sebegitu banyak politisi tak ada politisi yang baik?

Kalau itu ditanyakan pada Arvan, maka ia akan menjawab tegas : ya. Lalu, insan-insan yang senantiasa ”bersih” dan senantiasa concern terhadap kepentingan rakyat, disebut apakah mereka?

Arvan tak menampik, tetap saja ada insan perpolitikan negeri yang baik. Namun, mereka itu bukanlah politisi. Mereka itu adalah negarawan, yang bagi Arvan, sangat berbeda –bahkan berlawanan– dari ”sekedar” politikus.

Membaca provokasi Arvan, kita disadarkan pada masih banyaknya kebusukan-kebusukan perilaku –bahkan prinsip hidup—yang berkelindan dalam gerak langkah politisi negeri ini. Sinis, bahkan sarkastis memang, apa yang dikatakan Arvan. Tapi, menurut saya, semua itu sangat bagus sebagai bahan perenungan untuk siapapun yang yang berniat untuk tampil dalam panggung politik.

Arvan juga mengingatkan kita, bahwa ketika kebahagiaan jangka panjang menjadi salah satu goal (tujuan) dalam hidup ini, maka ada berbagai permasalahan yang harus kita pikirkan lebih jauh, daripada sekedar mencari kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu dan sementara. Toh, dunia politik bukanlah dunia yang harus dijauhi, jika memang ia dijalankan dalam konteksnya yang baik dan bermartabat.

Sebagai sebuah provokasi, saya rasa pilihan bentuk tulisan yang lugas dari Arvan ini merupakan pilihan yang tepat. Sebuah pilihan, yang justru bisa memperjelas penyadaran-penyadaran dasar yang seharusnya dimiliki oleh siapapun kita. Baik yang apolitis, sekedar pengamat, maupun mereka yang sudah telanjur masuk dalam pusaran politik.


Salam buku,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : hasil scanning

SELALU ADA KONSEKUENSI


Hampir dalam waktu yang bersamaan, beberapa hari lalu, saya "diingatkan" tentang konsekuensi dari sebuah keinginan.

Yang pertama, dari materi blog seorang kawan pengusaha salon. Bu Yulia Astuti namanya. Salon Moz5 "merk dagang" usahanya.

Ia menulis : "Bener juga ya... pengen aja nggak cukup!" (http://yulia-ku.blogspot.com tanggal 18 Maret 2009).

Intinya, ya cerita tentang orang yang pengen sesuatu, tapi sekedar pengen. Nggak pernah action. Diem saja. Nggak bertindak. Cuma diskusi. Omong doang.

Contohnya siapa ya, kira-kira? Ya saya ini! Ya Fajar S Pramono... hehe.

Banyak keinginannya, minim action-nya.
Banyak yang ingin dicapai, tapi usahanya mood-mood-an. Semangatnya naik turun. Mau berhasil dari Hongkong?!

Banyak yang sudah mengingatkan, tapi ya masih sering kumat-an. Ngeblog ini kan juga untuk menyemangati diri sendiri sebenarnya, tapi ya tetep aja kadang nggak konsekuen.

Lha Bu Yulia itu, saya rasa salah satu contoh yang konsekuen. Ia sangat meyakini bahwa keberhasilan hanya bisa diraih dengan action, action, dan action. Makanya, energinya tampak luar biasa. Nggak punya capek. Kesana-kemari, ikut seminar ini seminar itu, diskusi ini diskusi itu. Salut!

Anda bisa baca potongan-potongan perjalanan bisnis dan berbagai prinsip hidupnya di blog yang saya sebutkan di atas.

Ketika saya untuk kesekian kalinya merasa "tertampar" oleh Bu Yulia, saya membuka buku keduanya Farrah Gray, Get Real Get Rich! (Daras Books, Februari 2009).

Dhueeng....!!! Baru masuk Pengantar di halaman ix, serasa ada yang mengulang "tamparan" Bu Yulia. Bahkan kali ini terasa lebih keras!

Apa sih katanya?

"Semua orang ingin masuk surga, tetapi tidak ada orang yang mau mati..."

Nah lo... itu perumpamaan yang sangat ekstrim, tapi gilanya, saya setuju banget, dan tertampar banget!

Mungkin karena si penulis buku itu --Farrah-- memiliki pengalaman pribadi yang luar biasa tentang kekuatan tindakan. Coba baca lagi buku pertamanya, Reallionarie (Daras Books, November 2007).

Farrah memang meneruskan kalimatnya di atas dengan, "Semua orang ingin sukses, tetapi tidak semua orang mau melakukan apa yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan."

Kalimat yang "biasa' dan sering terdengar ataupun terbaca.

Tapi, perumpamaan tentang keinginan masuk surga itu lho...

Bukannya konsekuensi harus menjadi orang baiklah yang disebut Farrah sebagai "prasyarat" masuk surga, tapi justru "keberanian" untuk menghadapi maut. Bukan berarti disuruh bunuh diri lho... :) Pilihan perenungan yang sangat cerdas, menurut saya.

Menjadi orang baik dan taat, tentu tak ada seorangpun yang menggeleng kepala ketika diajak.

Tapi, kalau pertanyaannya "Mau mati?"

Hehe... kira-kira apa jawaban kita?

"Kan sudah ada takdirnya..."
"Nanti kan ada waktunya..."
"Belum siap kalee..." :)

Enggak salah sih. Kalau belum takdirnya, kalau belum waktunya, tentu tidak akan ketemu. Kalau belum siap tapi sudah waktunya, ya tetep putus lah nafas kita... :)

Tapi, semua itu tentu sekedar perumpamaan tentang sebuah konsekuensi. Bahwa harus ada sesuatu yang dilalui atau dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan.

Sejak membaca perumpamaan Farrah, saya merasa kekuatan saya bertambah. Kesadaran akan makna sebuah konsekuensi meningkat drastis. Mudah-mudahan saja, nggak ada peran mood baik dalam hal ini. Kalaupun iya, moga-moga saja mood buruknya sudah mati di dalam diri saya.

Pertanyaannya, apakah Anda juga tergerak?

Kalau iya, mari kita saling mengingatkan. OK?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://pandasurya.files.wordpress.com