Sebuah kisah pada sebuah malam yang basah. Bukan lagi gerimis kecil sesungguhnya, karena butir-butir air yang jatuh cukup besar dan deras.
Tapi orang itu --seorang pria yang tak lagi muda, bercelana panjang hitam dan berkaos oblong putih-- tampak begitu cuek dan asyik "ber-
handphone ria" di atas sepeda motor, yang ia hentikan secara sedikit serampangan di pinggir gang perumahan saya. Tak ada jas hujan, payung, atau bahkan sekedar topi di atas kepalanya. Suara dan tawanya yang sangat-sangat lepas terdengar jelas di telinga saya, kendatipun saya sudah menutup rapat kaca mobil yang saya kendarai. Raut mukanya yang masih bisa terlihat akibat tempias cahaya lampu rumah terdekat, menyiratkan sebuah kebahagiaan yang tiada tara. Haha.. wajah seorang cowok SLTP yang diijinkan mengajak cewek idamannya pergi malam minggu besok, istilah batin saya.
Begitulah. Saya yang kebetulan pulang melewati jalan yang sama dengan lelaki itu sepulang kerja, tersenyum sendiri. Betapa tidak? Saya melihat sebuah tubuh yang basah. Tapi dari bahasa tubuh yang memancarkan kebahagiaan itu, tak tampak sedikitpun ketidaknyamanan pada dirinya. Tubuh dingin dan basah yang berpotensi sakit, posisi minggir kendaraan yang tak sempurna dan berisiko terserempet kendaraan lain, risiko
handphone yang rusak akibat tertimpa air hujan, sama sekali tak nampak dalam perhitungannya.
Ia begitu asyik. Semua hal lain "kalah" oleh keasyikannya itu. Keasyikan yang muncul karena kebahagiaan tiada tara yang tercipta melalui hubungan via telepon seluler tadi --entah dengan siapa, dan entah apa yang dibicarakannya--.
***
Saya selalu ingat sebuah pelajaran. Sebuah teori. Bahwasanya, jika kita bisa mengerjakan sesuatu karena adanya kebahagiaan yang muncul dari padanya, maka kita bisa menjadi orang yang "lupa diri". Ekstase.
Lihatlah orang yang begitu hobi main catur. Ditantang main jam berapapun, hayuk saja. Melihat sebuah pertarungan bidak-bidak catur yang seru di gardu ronda, sampai pagi pun oke. Membicarakan strategi menyerang dan bertahan sebuah teori permainan dari sebuah buku catur atau guntingan koran minggu, begitu bersemangat. Tak kenal capek ia bicara. Tak kenal haus tenggorokannya.
Seorang penulis novel yang sedang "
trance" dan hanyut pada lakon yang ditulisnya, tiba-tiba menjadi seseorang yang seolah tak mau kehilangan satu detikpun dari plot kisah yang sedang dituangkannya. Segala sesuatu yang lain menjadi hal yang tak penting. Nomor sekian. Bahkan keinginan tidur pun dianggapnya sebagai "teroris" bagi keberhasilan karyanya.
Demikianlah.
Lantas, pikiran saya membayangkan, seandainya pekerjaan kita, atau apa yang kita lakukan dalam rangka mencari nafkah sekaligus yang kita upayakan bisa menjadi ladang ibadah bagi kita adalah sesuatu yang bisa membuat kita "
trance" dan berbahagia di alam bawah sadar, hmm... betapa menyenangkannya.
Itulah yang sering disebut orang sebagai "
passion". Sesuatu yang secara jiwa telah mencipta ketertarikan diri, dan sangat membahagiakan sang jiwa bila diperkenankan mengerjakannya. Terlebih lagi, jika
passion tersebut mampu memberikan hasil material bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Maka ia akan melakoninya dengan segenap jiwa. Maka ia akan menjalaninya sepenuh hati.
Hanya saja, pasti kita harus membuang sisi negatif dari "kelupadirian" akibat keasyikan tersebut. Risiko harus tetap dipertimbangkan. Melupakan hal lain di luar itu --menelantarkan anak istri misalnya, atau melupakan kewajiban-kewajiban individu serta sosial--, tak boleh terjadi.
Jika itu bisa kita olah, maka akan terwujud sebuah ketekunan kerja.
***
Ketekunan menghadapi pekerjaan pada hakikatnya bisa berasal dari beberapa kausa, namun menghasilkan "penampakan" ketekunan yang sama.
Pertama, karena
passion tadi.
Kedua, karena kesadaran. Bahwa apa yang harus dilakukannya, merupakan sebuah sarana mencari nafkah yang harus ia syukuri dan menjadi "wajib" baginya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Ketika kesadaran dan kesyukuran yang muncul, maka ia bisa bekerja dengan tekun dan bahagia.
Ketiga, karena keterpaksaan. Seseorang bisa saja nampak begitu tekun dan rajin di "luaran"-nya, namun sesungguhnya ia tersiksa dalam batinnya. Ia paham benar, jika ia tak melakukannya, maka ia tak bisa beroleh uang untuk hidup misalnya. Atau, ia akan mendapat hukuman jika tak mengerjakannya.
Ketiga penyebab di atas menciptakan gambar yang sama : seseorang yang bekerja dengan giat. Tekun. Tapi gambar yang sama tadi akan memberikan
output yang berbeda. Kualitas hasil yang tak sama.
Mana yang paling baik? Tentu dimulai dari yang nomor satu. Yang berawal dari
passion. Kemudian yang berasal dari kesadaran, dan yang terakhir, yang lahir dari keterpaksaan.
Kenapa bisa beda? Karena suasana hati, kegembiraan, kebahagiaan plus kadar kesyukuran yang berbeda, secara tidak langsung akan menciptakan hasil yang berbeda.
Dengan kata lain, semakin bahagia kita dalam mengerjakan sesuatu, Insya Allah, hasilnya semakin bagus. Karena pada akhirnya kita bisa bekerja dengan hati. Tulus, sekaligus nyaman.
***
Nah, sekarang mari kita tengok diri ini. Masuk kategori yang ke berapakah kita? Pertama, kedua, atau ketiga?
Jika kita masuk kategori pertama, bersyukurlah sebesar-besarnya kepada Tuhan. Jika masuk kategori kedua, ayo jadikan kesadaran itu menjadi sebuah
passion yang membahagiakan. Dan jika ternyata kita masih masuk kategori ketiga, mari tumbuhkan kesadaran, agar kita bisa lebih bersyukur, dan pada akhirnya bisa menjadikan apa yang kita kerjakan sebagai bahagian dari
passion kita.
Anda setuju? Kalau iya, mareee....
Salam perenungan,
Fajar S PramonoIlustrasi : http://muslimdaily.net