Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

MANTRA PENEMU

Siapa sesungguhnya yang telah membuat dunia ini semakin maju dari hari ke hari?

Jangan jawab : Tuhan. Itu sudah kemutlakan. Saat ini kita sedang bicara pada ranah makhluk. Manusia; spesifiknya.

Lihatlah manusia-manusia pembawa perubahan. Bill Gates. Steve Job. Mark Zuckerberg. Nelson Mandela. Atau yang "beraroma jadul", seperti Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Thomas Alfa Edison, Wright bersaudara, Henry Ford, Einstein. Masih banyak lagi tentunya.

Mereka berbeda jaman, berbeda bidang pengerjaan, tak sama geografis, berlainan jenis kelamin, berlainan kondisi ekonomi dan kepemilikan akses kekuasaan. Tapi, pasti ada yang membuat mereka bisa berperan penting pada masanya, dalam hidupnya.

Apa itu?

Rasa tak puas.

Hanya itu?

Tidak. Ada keyakinan bahwa mereka bisa berbuat lebih baik.

Itu yang "menyamakan" antar mereka, sekaligus membedakan dengan kita kebanyakan.

Kita seringkali berhenti pada rasa tak puas. Itu bagus, minimal lebih bagus daripada sekumpulan orang yang sekedar pasrah, tak ada inisiatif, bahkan mungkin tak punya opini. Apa yang ada di hadapannya-lah yang ia jalani.

Padahal, langkah lanjutan berupa upaya agar dunia ini menjadi lebih baik adalah keniscayaan, yang akan membuat dunia ini benar-benar semakin lebih baik.

Sudah banyak orang bicara : inovasi, atau mati.
Kata saya : dalam dunia yang terus berjalan ke depan, maka berhenti tak ada beda dengan berjalan mundur.

Bukankah begitu? Kita semakin tertinggal dari yang lain.

***

Sekarang, pertanyaan tertuju pada kita. Apakah kita tak ingin menjadi bagian dari pencipta perubahan, dan bukan sekadar menjadi pelaku perubahan yang telah dirintis orang lain?

Pencipta dan pelaku perubahan, sama-sama menjalani perubahan. Tapi pasti ada yang berbeda. Yakni, "derajat"-nya. Mana yang lebih tinggi? Pastilah si pencipta.

Nah. Dari buku The Greatness Guide karya Robin Sharma, terungkap sebuah "mantra penemu".

Seperti apa itu?

Simaklah : "Musuh dari yang terbaik adalah yang baik".

Anda bingung? Bagaimana sesuatu yang sudah baik masih bisa menjadi musuh?!

Sesuatu yang baik di sini, tak ubahnya sesuatu yang sudah mapan. Dan kemapanan terbukti seringkali membuat kita "tumpul", malas berinovasi, dan merasa puas.

Padahal, itulah "penyakit"! Penyakit bagi kemajuan yang berkesinambungan. Sementara, jelas kita ingin hidup ini semakin maju dari waktu ke waktu.

Karena itu, mari kita selalu ingat "mantra penemu" itu. Dan mari, kita selalu coba untuk bisa menjadi bagian dari penciptaan perubahan dunia.


Salam,

Fajar S Pramono


--Judul posting ini, saya cuplik persis seperti judul bab di buku Robin Sharma di atas. Saya kesulitan dan merasa tak pantas untuk menyebutnya dengan istilah yang lain--

Ilustrasi : http://openinno.files.wordpress.com

MANUSIA MANFAAT

Lahan itu tak seberapa luas. Hamparan itu pun tak semulus sebuah green di lapangan golf. Ada sebuah onggokan semen yang membatu di sana. Ada lebih dari satu lubang menganga, yang pada akhirnya menegaskan bahwa adalah got kotor di bawah lahan itu.

Tapi betapa orang sangat "merindukan"-nya. Betapa banyak insan yang menantikan "hak"-nya untuk bisa beraktivitas di atasnya.

Pagi dan siang hari, ia menjadi salah satu lahan parkir terbaik yang dimiliki deretan ruko di sana. Menjelang sore, ia akan dipenuhi lapak-lapak saudara-saudara pedagang pakaian, handuk, kaset, cd-vcd, kaus kaki, underwear, aksesoris, dan lain sebagainya. Begitu malam berganti pagi, di sana sekumpulan pedagang sayur mengurai kedinginan dinihari dengan aktivitas jual beli yang melimpahkan mimpi kesejahteraan bagi penjualnya. Sampai pagi, di mana lahan tersebut kembali memulai siklus hariannya.

Seluruh waktunya adalah manfaat. Seluruh denyut nadinya mengalirkan rahmat.

Mari kita bayangkan, kita menjadi lahan itu. Begitu bahagianya kita jika mampu menebar manfaat sedemikian rupa. Betapa senangnya hati ini manakala bisa terus berbagi kepada sesama. Betapa gembiranya bisa menjadi makhluk yang senantiasa dirindukan dan dinantikan.

Manusia. Tak banyak manusia yang bisa memberikan dan menebarkan manfaat sepanjang nafas kesehariannya. Pagi menebar rahmat, siang menebar maslahat, sore menebar manfaat, malam berbagi kiat. Buah pikirnya, ucapannya, pandangannya, gerakan badannya, aktivitas formalnya, dan segala apa yang dilakukannya --bahkan tidurnya--, selalu dinantikan banyak makhluk karena tak pernah lepas dari aspek kemanfaatan bagi sesama.

Karenanya saya selalu terharu jika ada yang berdo'a atau mendo'akan, agar kita bisa semakin bermanfaat bagi banyak makhluk Tuhan. Bahkan bukan hanya pada satu jenis makhluk bernama manusia, tapi juga makhluk-makhluk lain seperti binatang, tumbuhan, juga makhluk tak hidup yang ada di sekeliling kita.

Hanya dari sebuah lahan di depan bangunan kantor sebagaimana yang saya ceritakan di atas, kita bisa berkaca. Apakah kita sudah bisa menjadi manusia yang senantiasa memberi manfaat bagi sekeliling kita? Bagi keluarga kita, anak-anak kita, tetangga kita, perusahaan kita, negara kita, dan bahkan tanaman di halaman rumah kita?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : Media Indonesia