Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

BULAN YANG MURAM


(Minggu (10/05/09) dini hari)

Bulan tampak muram//padahal sinarnya penuh//bulat tanpa cacat yang mencecap
Sebuah wajah terlihat buram//padahal dia cantik//padahal dia tampan
Suram pula masa depan//padahal ia ada//padahal dia nyata


***
Lantas, apa yang membuat mereka tampak muram, buram dan suram?

Jangan-jangan, bukan bulan yang muram. Bukan wajah perempuan ataupun laki-laki itu yang buram, dan bukan gambaran masa depan kita yang suram.

Jangan-jangan, kita sendiri yang membuat bulan itu jadi tampak muram, wajah seseorang terlihat lebih buram, dan masa depan kita menjadi bayangan suram yang seram.

+
Bulan yang bersinar penuh dan bulat, tampak muram karena adanya mendung di dekat permukaan bumi. Karena ada awan pekat di atas kita yang menimpali. Jauh dari permukaan bulan itu sendiri.

Kalau begitu, bukan bulan yang sebenarnya muram, tapi karena kita yang membiarkan mendung dan awan pekat menutupi pandangan kita. Sang bulan sendiri, tetap memantulkan cahaya matahari dengan sepenuh hati dan tawa riang gembira.

++
Wajah sang kawan, tak ada yang menampik bahwa ia cantik. Tak ada yang mengelak bahwa ia tampan. Lantas, kenapa terlihat buram?

Ternyata, karena hati kita yang iri, karena ia baru beroleh prestasi. Ternyata, karena hati kita dengki, karena ia lebih banyak dipuji. Sementara kita? Belum tampak prestasi, belum layak dipuji.

Ternyata, wajah mereka menjadi buram, karena tertutup oleh rasa tak simpati yang kita ciptakan sendiri.

+++
Masa depan yang tampak suram, karena kita tak percaya diri menghadapinya. Nasib buruk hari ini, seolah identik dengan nasib di masa mendatang. Padahal ia bisa berubah. Padahal ia bisa diubah.

Masa depan tak ada yang suram, bila kita bisa melihatnya dengan keoptimisan. Jika kita bisa hadapi dengan keyakinan. Keuletan. Kerja keras. Kerja cerdas.

Masa depan yang suram, ternyata tercipta oleh perasaan dan keyakinan yang tak benar oleh kita sendiri. Sementara sang masa depan, sesungguhnya siap memberi kenyamanan dan kebahagiaan.

***
Maka, singkirkan mendung dan awan pekat yang menutupi bulan itu. Buanglah rasa iri dan dengki yang membuat fitnah kejelekan di wajah sahabat itu. Kuburlah rasa pesimis dan ketidakyakinan kita atas masa depan yang gemilang.

Lalu lihat dan rasakan. Sinar sang bulan akan bisa kita terima penuh dalam kehangatan. Wajah semua orang akan terlihat cantik, tampan dan mengesankan. Masa depan, menjadi harapan yang menggembirakan.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://eriek.files.wordpress.com

ALASAN


Sebuah inspirasi dari Reader Digest edisi Mei 2009, yang mengutip kata-kata Dr. Daniel T. Drubin :

"Setiap alasan yang pernah saya dengar, masuk akal bagi orang yang membuatnya."

***

Hmm... kecut senyum saya ketika membacanya. Bukan mencibir, tapi justru karena bener banget rasanya. Semua alasan itu masuk akal. Di mata siapa? Di mata si pembuat alasan itu sendiri!

Artinya? Artinya, ya belum tentu masuk akal bagi orang yang lain....

Apakah alasan capek itu membuat orang bisa memutuskan untuk sebuah janji penting yang telah terjadwal sebelumnya?

Bisa, dan masuk akal.

Di mata siapa? Di mata yang buat alasan dong. Lha di mata "lawan janji"-nya, yang telah bela-belain menyiapkan waktu dan bahkan menomorduakan keluarga untuk sementara pada weekend itu? Di mata para penepat janji yang senantiasa berprinsip bahwa janji adalah hutang?

Lalu, kesiangan. Apakah alasan tidur terlampau malam --bahkan masuk kepada dini hari-- bisa menjadi alasan bagi keterlambatan kita ke kantor?

Bisa. Masuk akal? Masuk akal.

Di mata siapa? Ya di mata yang terlambat dong. Lha di mata atasannya yang sangat disiplin? Lalu, ketika dicermati lagi bahwa keterlambatan tidurnya bukan karena lembur pekerjaan ekstra tapi "hanya" karena menuruti hobi nonton bola atau sekedar keasyikan ber-facebook hingga lupa waktu?

Tentu alasan itu menjadi sulit untuk diterima. Meskipun, tetap masuk akal bagi si pembuat alasan.

So, benar sekali kata Dr. Drubin tadi. Alasan, selalu dianggap masuk akal oleh si pembuat, tapi belum tentu bagi orang lain. Terlebih lagi bila ketidaktepatan berkomitmen itu menyebabkan kerugian pada orang lain tersebut.

***

Saya jadi ingat tulisan Mas Fauzi Rachmanto *), seorang pebisnis sekaligus pembaca dan penulis yang baik.

Suatu ketika ia "bicara" tentang CEM. Chronic Excuse Making.

Apa itu? CEM adalah "penyakit" membuat alasan yang kronis. Disebut kronis, karena baginya selalu saja ada alasan untuk sesuatu yang tidak dikerjakan semestinya. Yang laptopnya "sok" rusak-lah ketika diminta membuat laporan, yang nggak ada mobil-lah ketika diminta mengunjungi klien, yang kena macet-lah Senin pagi itu, dan sebagainya.

Bukannya kita bisa ke rental atau menggunaan PC kantor untuk membuat laporan?
Bukannya kita masih bisa memanfaatkan angkutan umum untuk menemui sang klien?
Bukannya kemacetan Senin pagi merupakan sesuatu yang klasik, yang mestinya bisa kita hindari dengan berangkat lebih pagi dibanding hari yang lain?

Seorang pengidap CEM selalu berlindung di balik alasan-alasan, untuk menutupi hal-hal yang tidak mau atau tidak mampu ia kerjakan. Seolah-olah, dengan menyampaikan excuse, maka kewajiban yang harus dilaksanakan sudah terselesaikan. Begitu tegas Mas Fauzi.

***

Lantas, tak bolehkah ada yang namanya "alasan" itu?

Tentu boleh. Ada batasan-batasan tertentu yang memungkinkan sebuah alasan dikedepankan. Kapan itu? Saya sependapat dengan Mas Fauzi, yakni : ketika kita sudah berusaha sampai limit teratas kita pada saat itu. Ketika kita sudah berusaha maksimal. Ketika kita sudah berupaya sepenuh jiwa dan tenaga.

Kalau memang dalam satu wilayah yang kebetulan kita tinggali pada saat itu tak ada rental komputer, tak mungkin menjangkau kantor dalam satu hari perjalanan, tak ada orang lain yang memungkinkan untuk kita pinjami PC atau laptop lain, bahkan tak ada mesin ketik manual, atau memang laporan tersebut tidak memungkinkan untuk dibuat secara manual tangan, silakan ber-excuse.

Kalaulah memang domisili sang klien tidak mungkin dijangkau dengan menumpang mobil lain, memakai sepeda motor, angkutan umum, taksi, atau bahkan dengan ojek sekalipun, silakan ber-excuse.

Kalau kita sudah prepare menjelang Senin pagi, berangkat tidur lebih awal, membunyikan alarm agar bangun lebih pagi, menyiapkan segala sesuatunya sejak Minggu sore dan berbagai persiapan lainnya, lantas kita terhadang kemacetan panjang akibat adanya kecelakaan maut yang membuat kita terjebak di dalam kerumunan massa, di situ mungkin excuse bisa disampaikan.

So, persis seperti yang dikatakan Mas Fauzi. Ada dua"resep" untuk menghindari penyakit CEM ini. Pertama, ingat selalu bahwa excuse tidak dapat menggantikan hasil akhir. Kedua, cobalah sampai limit kita dahulu, sebelum menyampaikan excuse.

Sekali lagi, alasan selalu masuk akal, hanya bagi orang yang membuatnya. Ingat juga, bahwa banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa CEM adalah penghilang kesempatan untuk maju, pembuang peluang untuk menjadi besar, dan penghalang sejati bagi kesuksesan.


Salam,

Fajar S Pramono


*) http://fauzirachmanto.blogspot.com/2008/08/cem.html

Ilustrasi : http://4.bp.blogspot.com