Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

REST AREA

Entah kenapa, di telinga saya masih saja terngiang apa yang disampaikan seorang kawan saya pada sebuah pelatihan. Ketika diminta membuat sebuah gambar atau simbol yang menyiratkan sebuah "misi" atau "cita-cita" ke depan, ia menggambar sebuah jalan tol.

Menurutnya, jalan tol itu adalah sebuah jalan yang menyediakan segalanya. Utamanya, terkait dengan keberadaan rest area. "Melalui" rest area, jalan tol menyediakan tempat makan bagi yang lapar. Menyediakan arena istirahat bagi yang kelelahan. Menyediakan toilet untuk yang "kelebihan muatan". Menyediakan wahana ibadah untuk yang ingin melaksanakan kewajiban. Juga menyediakan stasiun pengisian bahan bakar untuk yang kehabisan bahan bakar.

Mungkin cerita Kang Isman --kawan saya itu-- terus terngiang karena hampir setiap hari saya menggunakan jalan tol. Ke kantor, lewat tol. Juga pada weekend atau liburan, karena saya tak suka berurusan dengan banyaknya lampu merah di ibukota. Karenanya pula, nyaris setiap hari saya melihat rest area.

***

Rest area, bagi saya, menunjukkan sebuah pentingnya sebuah jeda atau istirahat dalam perjalanan hidup kita. Mesin tubuh ini, baik yang berupa otot, otak, pikiran, tulang, dan sebagainya, memerlukan istirahat pada waktunya. "Mereka" tak mungkin diberdayakan secara maksimal tanpa adanya kesempatan beristirahat. Mata kita, apakah mungkin kita paksakan melek berhari-hari tanpa tidur, dan berharap kualitas melek-an yang sama sejak hari pertama? Bersamaan dengan itu, mungkinkan kita bisa memaksimalkan fungsi otak untuk berpikir pada hari ke-enam sejak kita tak tidur?

Mungkin pulakah kita menyuruh otot ini bekerja keras tanpa asupan makan dan minum berhari-hari, kendati ilmu kedokteran mengatakan bahwa kita akan kuat tak minum sampai dengan 48-72 jam, atau akan tahan tak makan sampai satu minggu asal minum air?
Rasanya tak mungkin juga.

Sesungguhnya, semua sudah terukur dengan baik. Ada libur kantor setelah lima atau enam hari bekerja fullday. Ada kepentingan bernama tidur setelah sekitar 18 jam kita beraktivitas. Ada pergantian sopir bus malam setelah 6 jam mengemudi. Ada 3 shift pekerja pada pabrik yang beroperasi 24 jam. Ada angka ideal bagi kesemuanya, kendati pada akhirnya relativitas kekuatan dan ketahanan akan bicara.

Karena itu pula, ada rest area yang nyaris tak pernah sepi sepanjang hari. Banyak hotel yang ber-occupancy rate di atas 80% kendati selangit harga kamarnya. Beribu tempat wisata di nusantara yang seolah tak pernah kekurangan pengunjung. Bejibun mall tak pernah kehilangan (calon) pembeli, yang berbelanja sembari "cuci mata". Ada puluhan ribu tempat makan yang diserbu pecinta kuliner, yang tak hanya kepingin memenuhi kebutuhan nutrisi, tapi juga kebutuhan taste. Juga (mungkin) jutaan salon, tempat spa, sauna, massage, karaoke, yang bahkan terpaksa menolak peminat.

Semua itu juga mengingatkan, bahwa kita adalah manusia yang memiliki keterbatasan. Kita bukan robot yang tak punya capek. Tapi ah, tidak juga. Banyak yang mengatakan juga bahwa mesin dan teknologi pun harus punya jadwal "istirahat". Karena itu jadwal overhaul mesin produksi. Karena itu ada service rutin mesin kendaraan. Karena itu ada pendinginan mesin, pendinginan motor kipas angin, pendinginan radiator mobil, dan sebagainya.

Istirahat, refreshing, pendinginan dan sejenisnya, tolong, jangan selalu diartikan sebuah kemalasan atau kemanjaan. Itu adalah bagian dari "kodrat", demi pemenuhan stabilisasi kualitas kerja, penjagaan kemampuan berpikir, bahkan peningkatan mutu dari kesemua proses hidup manusia. Hanya dengan pemberian kesempatan untuk "menarik nafas", maka otot ini, otak ini, pikiran ini, mesin ini, bisa bekerja dengan (tetap) baik, bahkan semakin baik dari hari ke hari.

Tapi, kalau tuntutan istirahat, refreshing atau pendinginan tadi sudah melebih kadar optimalnya, atau "tidak pada tempatnya", yang pada akhirnya justru mengganggu proses dan percepatan kerja, bolehlah kita mengartikan bahwa hal itu hanya sekedar dalih pembenar dari sebuah kemalasan.

Ya, seperti saya yang pagi ini pingin tidur lagi, meski semalem sudah tidur lebih dari tujuh jam! Hehehe...



Salam,

Fajar S Pramono