Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

ALASAN


Sebuah inspirasi dari Reader Digest edisi Mei 2009, yang mengutip kata-kata Dr. Daniel T. Drubin :

"Setiap alasan yang pernah saya dengar, masuk akal bagi orang yang membuatnya."

***

Hmm... kecut senyum saya ketika membacanya. Bukan mencibir, tapi justru karena bener banget rasanya. Semua alasan itu masuk akal. Di mata siapa? Di mata si pembuat alasan itu sendiri!

Artinya? Artinya, ya belum tentu masuk akal bagi orang yang lain....

Apakah alasan capek itu membuat orang bisa memutuskan untuk sebuah janji penting yang telah terjadwal sebelumnya?

Bisa, dan masuk akal.

Di mata siapa? Di mata yang buat alasan dong. Lha di mata "lawan janji"-nya, yang telah bela-belain menyiapkan waktu dan bahkan menomorduakan keluarga untuk sementara pada weekend itu? Di mata para penepat janji yang senantiasa berprinsip bahwa janji adalah hutang?

Lalu, kesiangan. Apakah alasan tidur terlampau malam --bahkan masuk kepada dini hari-- bisa menjadi alasan bagi keterlambatan kita ke kantor?

Bisa. Masuk akal? Masuk akal.

Di mata siapa? Ya di mata yang terlambat dong. Lha di mata atasannya yang sangat disiplin? Lalu, ketika dicermati lagi bahwa keterlambatan tidurnya bukan karena lembur pekerjaan ekstra tapi "hanya" karena menuruti hobi nonton bola atau sekedar keasyikan ber-facebook hingga lupa waktu?

Tentu alasan itu menjadi sulit untuk diterima. Meskipun, tetap masuk akal bagi si pembuat alasan.

So, benar sekali kata Dr. Drubin tadi. Alasan, selalu dianggap masuk akal oleh si pembuat, tapi belum tentu bagi orang lain. Terlebih lagi bila ketidaktepatan berkomitmen itu menyebabkan kerugian pada orang lain tersebut.

***

Saya jadi ingat tulisan Mas Fauzi Rachmanto *), seorang pebisnis sekaligus pembaca dan penulis yang baik.

Suatu ketika ia "bicara" tentang CEM. Chronic Excuse Making.

Apa itu? CEM adalah "penyakit" membuat alasan yang kronis. Disebut kronis, karena baginya selalu saja ada alasan untuk sesuatu yang tidak dikerjakan semestinya. Yang laptopnya "sok" rusak-lah ketika diminta membuat laporan, yang nggak ada mobil-lah ketika diminta mengunjungi klien, yang kena macet-lah Senin pagi itu, dan sebagainya.

Bukannya kita bisa ke rental atau menggunaan PC kantor untuk membuat laporan?
Bukannya kita masih bisa memanfaatkan angkutan umum untuk menemui sang klien?
Bukannya kemacetan Senin pagi merupakan sesuatu yang klasik, yang mestinya bisa kita hindari dengan berangkat lebih pagi dibanding hari yang lain?

Seorang pengidap CEM selalu berlindung di balik alasan-alasan, untuk menutupi hal-hal yang tidak mau atau tidak mampu ia kerjakan. Seolah-olah, dengan menyampaikan excuse, maka kewajiban yang harus dilaksanakan sudah terselesaikan. Begitu tegas Mas Fauzi.

***

Lantas, tak bolehkah ada yang namanya "alasan" itu?

Tentu boleh. Ada batasan-batasan tertentu yang memungkinkan sebuah alasan dikedepankan. Kapan itu? Saya sependapat dengan Mas Fauzi, yakni : ketika kita sudah berusaha sampai limit teratas kita pada saat itu. Ketika kita sudah berusaha maksimal. Ketika kita sudah berupaya sepenuh jiwa dan tenaga.

Kalau memang dalam satu wilayah yang kebetulan kita tinggali pada saat itu tak ada rental komputer, tak mungkin menjangkau kantor dalam satu hari perjalanan, tak ada orang lain yang memungkinkan untuk kita pinjami PC atau laptop lain, bahkan tak ada mesin ketik manual, atau memang laporan tersebut tidak memungkinkan untuk dibuat secara manual tangan, silakan ber-excuse.

Kalaulah memang domisili sang klien tidak mungkin dijangkau dengan menumpang mobil lain, memakai sepeda motor, angkutan umum, taksi, atau bahkan dengan ojek sekalipun, silakan ber-excuse.

Kalau kita sudah prepare menjelang Senin pagi, berangkat tidur lebih awal, membunyikan alarm agar bangun lebih pagi, menyiapkan segala sesuatunya sejak Minggu sore dan berbagai persiapan lainnya, lantas kita terhadang kemacetan panjang akibat adanya kecelakaan maut yang membuat kita terjebak di dalam kerumunan massa, di situ mungkin excuse bisa disampaikan.

So, persis seperti yang dikatakan Mas Fauzi. Ada dua"resep" untuk menghindari penyakit CEM ini. Pertama, ingat selalu bahwa excuse tidak dapat menggantikan hasil akhir. Kedua, cobalah sampai limit kita dahulu, sebelum menyampaikan excuse.

Sekali lagi, alasan selalu masuk akal, hanya bagi orang yang membuatnya. Ingat juga, bahwa banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa CEM adalah penghilang kesempatan untuk maju, pembuang peluang untuk menjadi besar, dan penghalang sejati bagi kesuksesan.


Salam,

Fajar S Pramono


*) http://fauzirachmanto.blogspot.com/2008/08/cem.html

Ilustrasi : http://4.bp.blogspot.com

4 komentar:

Tulisan yang bagus sekali...! Saya semakin mantap untuk berlangganan hehe..:-)

 

@ Noura Qalbi :
Hallo, Cahaya Hati...:) terima kasih apresiasinya. Btw, saya juga seneng banget liat kreativitas Mbak Noura. Luar biasa!
Terus berkarya ya, Mbak... salam sukses.

 

wehh... nice blog pakdhe....

bener juga ya tentang alasan... (sambil angguk-angguk biar dikira ngerti)

salam kenal (kudune sih wes kenal mbiyennnnnnn... yen ra lali)

salam bwt keluarga...

mampir yen sempet:

http://ekojuli.wordpress.com/

 

Hallo, Paklik. Terus terang aku rada lali... haha! Ta' intip fotone, mung ketok separo.
Yen jenenge sih, familier tenan. Dadi penasaran... memori otakku wis kudu diupgrade ki!

Tapi aku seneng mampir ke blog Panjenengan. Asyik! :)