Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

POTRET


Ketika membolak-balik halaman buku Sangguru; Menyapa Hati-nya Aribowo Suprajitno Adhi (2009), saya terpancang pada sebuah grafis ilustrasi beserta esai penjelasannya.

Ilustrasi berupa gambar seorang ibu yang berjalan terbungkuk-bungkuk karena membawa beban berat berupa tumpukan tinggi kardus bekas di punggungnya. Sekilas, kita akan sampai pada kesimpulan yang nyaris sama : ibu itu seorang pemulung, yang hidupnya berkesusahan.

Namun, esai penjelasannya bertuliskan kalimat yang sangat bijak : jika kita hanya melihat gambar tersebut, maka bisa jadi yang muncul adalah rasa kasihan, dan hidup si ibu yang tampak tak bahagia. Tapi, kesan ini bisa sangat lain ketika pada sore hari kita melihat sang ibu bersuka cita, bercengkerama bersama keluarganya. Hanya kebahagiaan dan kesukacitaan yang nampak pada keluarga itu, lepas dari kondisi ekonominya yang mungkin morat marit, karena kebahagiaan sesungguhnya memang tak selalu hadir seiring sejalan dengan kelimpahan materi.

Itu satu pelajaran.

Pelajaran kedua, berasal dari "kesimpulan" yang penulis buku itu sampaikan.

"Setiap potret atau snapshot kehidupan tidak bisa menjadi kesimpulan hidup yang kita jalani," tulisnya.

Benar juga! Kita tidak bisa memandang keseluruhan hidup si ibu tadi hanya dengan satu jepretan dan satu kali pandangan saja. Kita mungkin saja tak tahu, bahwa prosentase kebahagiaan dalam hidupnya selama 1 x 24 jam jauh didominasi kebahagiaan daripada "penderitaan" yang terlihat kasat mata.

Bahkan, apa yang terlihat kasat mata itu pun bisa jadi salah. Benarkah si ibu sangat merasa terpaksa ketika menjalani "ritual"-nya berupa mengumpulkan kardus bekas sebagaimana pemulung lainnya, dan lantas kemudian menjualnya kepada pengepul barang bekas? Sangat bisa jadi kita salah.

Ketika menyadari bahwa perjuangan mencari nafkah adalah sebuah ibadah dan konsekuensi untuk membahagiakan keluarga, maka seseorang akan bisa dengan sangat bahagia melakukannya. Ada keikhlasan di sana. Ada kerelaan yang menguatkan di sana.

So, bahagia tidaknya hidup seseorang, tak bisa kita lihat dari sepotong potret kehidupannya saja. Terlebih lagi, jika potret itu adalah potret dua dimensi yang tak mampu menjelaskan seperti apa isi hati obyek jepretan itu.

Selain tak bisa menjelaskan "dimensi ketiga", sebuah potret juga sekedar merupakan potongan suatu fase dalam kehidupan ini.

Ketika dalam potret itu kita terlihat kurus, apakah akan selalu demikian sepanjang hidup kita?

Ketika sebuah "potret" menggambarkan kesusahan hidup Anda di masa lalu, apakah potret itu akan selalu sama dengan gambaran Anda yang saat ini sudah hidup layak dan mapan secara ekonomi?

Sebaliknya, apakah ketika dalam potret masa lalu kita yang terlihat penuh kemakmuran, juga akan senantiasa terlihat samakah dengan potret kita saat ini?

Belum tentu.

Potret juga hanyalah sebuah penggalan episode kehidupan, yang tak bisa disimpulkan akan menjadi gambaran kondisi kita sepanjang waktu kehidupan.

Banyak contoh kasus yang menunjukkan hal tersebut.

Seorang sahabat --Hendrik Lim-- berkisah dalam bukunya rehat dulu lah... (2007). Ia memiliki seorang kawan yang ter-PHK berkali-kali, namun justru menjadikannya semakin sukses.

Dari sebuah perusahaan pembiayaan yang tak terlampau besar, si kawan ter-PHK akibat krisis moneter. Terpaksa ia menganggur. Namun, dari pesangon yang tak terlampau mengecewakan, justru ia mampu melunasi kredit kepemilikan rumahnya.

Akhirnya ia masuk ke sebuah bank milik Bakrie Group. Beberapa tahun kemudian, bank tersebut terpaksa diserahkan kepada BPPN. Si kawan pun terpaksa menganggur kembali. Namun, ajaibnya, pesangonnya sangat manis, sehingga si kawan ini justru bisa melunasi kredit mobilnya.

Nasib baik terus berpihak. Ia termasuk yang direkrut oleh BPPN, dengan status pekerja kontrak lima tahun. Ketika BPPN dilikuidasi oleh pemerintah, ia kembali menerima pesangon yang menggembirakan. Ia bahkan pindah rumah ke sebuah kawasan yang jauh lebih elite.

Nasib baik terus menaungi si kawan ini. Dari BPPN, ia termasuk orang yang direkrut sebagai staf ahli PPA, lembaga "penerus" BPPN. Saat ini, olah raganya sudah berganti menjadi golf, mobilnya sudah berganti menjadi Mercy. Padahal ketika di perusahaan pertama, ia terpaksa lebih banyak naik ojek!

Jadi, tak ada kesimpulan yang bisa dibuat dengan satu snapshot saja. Satu kepingan puzzle, tak bisa menggambarkan seperti apa gambar utuh puzzle tersebut.

Tentu kita punya banyak contoh di sekitar kita. Baik tentang orang yang "tak terlihat sebagaimana dia terlihat" --seperti ibu tadi--, ataupun seseorang yang berubah nasib secara signifikan dalam hidupnya --seperti kawan rekan Hendrik Lim tadi--.

Sekali lagi, jangan pernah menyimpulkan apapun, hanya dari selembar potret saja. Ada rahasia dan kekuatan Tuhan di sana.


Salam,

Fajar S Pramono

Ilustrasi ; http://www.swaberita.com

2 komentar:

Wah... sampai menahan nafas bacanya:-)
Ok, pak penulis, mulai sekarang anda punya penggemar baru hehe..

 

@ Noura Qalbi : hehe.. sesama penulis dilarang saling menggemari! :D