Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

MENGALAHKAN DIRI SENDIRI


Kalaulah ada pertanyaan : diri kita sendiri ini, musuh ataukah sahabat?

Kalau kita sering mendengar anjuran, "Cobalah bersahabat dengan diri Anda sendiri", apakah itu berarti pada suatu ketika diri kita ini adalah "musuh" kita sendiri? Mungkinkah kita bisa bermusuhan dengan diri kita sendiri?

Jika sekedar menjawab pertanyaan yang secara harfiah membingungkan itu, kita pasti akan bingung juga. So, mungkin hal itu lebih enak kalau diperjelas dengan contoh.

Ketika kuliah, saya indekost. Demi melihat seorang teman kost --kebetulan si teman ini masih kelas 3 SMA-- tak pernah mau belajar, bahkan terus saja menuruti keinginannya untuk bermain, nonton, dan sebagainya meskipun dalam waktu sangat dekat akan menghadapi ujian akhir, saya heran. Padahal juga, "historikal" hasil pendidikannya selama kelas 1 sampai dengan kelas 3 tidak pernah menunjukkan prestasi yang boleh dikata baik.

Pada akhirnya, saya menulis sebuah esai sederhana, yang ketika iseng saya kirim ke Harian Suara Merdeka, dimuat di rubrik "Esai Lepas" pada tanggal 25 Mei 1997. Judulnya sama dengan judul posting kali ini : Mengalahkan Diri Sendiri.

Dalam esai itu, saya mengatakan bahwa ada satu hal yang seringkali sangat berat untuk kita jalani, yakni yang saya sebut dengan "mengendalikan keinginan, kehendak dan nafsu untuk melakukan sesuatu, yang sekiranya akan menghambat cita-cita."

Dengan contoh kasus teman saya di atas, saya katakan bahwa teman tersebut tidak bisa mengalahkan keinginan untuk terus bermain yang tak bermanfaat, nonton yang semestinya bukan kebutuhan pokok atau minimal bisa ditunda terlebih dahulu, padahal kegiatan yang pada akhirnya dipilihnya itu bisa jadi membuat dia gagal dalam ujian akhir sekolahnya. Ketika itu gagal, maka sebuah cita-cita yang saya yakin sebenarnya ada tercetak dalam benak dia, akan terhambat pencapaiannya, atau bahkan sama sekali hanya jadi mimpi di siang bolong.

So, dalam case tersebut, saya mengatakan bahwa teman saya tadi belum bisa mengendalikan keinginan dirinya untuk sesuatu yang jauh lebih penting. Pendek kata, ia belum bisa mengalahkan dirinya sendiri.

***

Saya kembali tersentak oleh pentingnya kesadaran itu ketika dini hari tadi saya mulai membaca buku The Last Lecture (Pesan Terakhir) karya Randy Pausch. Seorang profesor di Carnegie Mellon University, yang dibantu Jeffrey Zaslow --kolumnis di Wall Street Journal-- dalam penulisan bukunya itu.

Pausch, divonis bahwa usianya tinggal 6 bulan. Itu akibat kanker prankeas yang dideritanya. Ada sepuluh tumor yang menghinggapi levernya. Tapi lihatlah apa yang ia perbuat dalam "jatah hidup"-nya yang tinggal sedikit itu. Ia sama sekali tidak menyerah, dan justru mampu memanfaatkan waktu yang sempit itu menjadi sebuah prestasi yang luar biasa, yang membuat hidupnya jauh lebih baik, dan bahkan menginspirasi banyak sekali orang di dunia ini.

Poin utama yang saya peroleh adalah : Pausch tidak pernah menyerah, dan tidak pernah mau "mengalah" pada dirinya sendiri.

"Meski mudah saja kalau saya mau mengasihani diri, itu tidak ada baiknya untuk mereka, termasuk diri saya," kata Pausch.

"Mereka" yang dimaksudkan dalam kalimat Pausch tadi adalah istri dan ketiga anaknya.

***

Ada banyak cerita yang nyaris serupa, bahwa prestasi terbaik seringkali diperoleh justru dalam kondisi yang penuh keterbatasan.

Beberapa kisah pernah saya angkat dalam posting-posting saya. Kisah Ryan Farrington, seorang pelari muda Inggris yang sesungguhnya menderita distonia (posting tanggal 29/12/2008); Natalie du Toit, perenang maraton asal Afrika Selatan yang hanya memiliki satu kaki. Juga Maarten van der Weijden, perenang Belanda yang memperoleh emas dalam nomor renang 10 km maraton di Olimpiade Beijing 2008, yang sesungguhnya adalah penderita leukimia akut sejak 2001 (posting tanggal 23/08/2008).

Pertanyaan bagi kita semua : apakah kemampuan untuk mengalahkan diri sendiri ini baru akan muncul dalam keadaan "terpaksa" ataupun dalam kondisi penuh "keterbatasan"?

Semestinya tidak. Jika dalam kondisi yang serba terbatas saja mereka bisa menorehkan prestasi dengan cara mengalahkan dirinya sendiri, kenapa kita yang relatively lebih lenjustru tidak bisa?

Bukankah ketika tidak ada kungkungan keterbatasan, dan di sisi lain kita mampu mengalahkan diri sendiri, maka hasil yang bisa diharapkan menjadi lebih tinggi?

Namun kawan, inilah yang banyak terjadi. Kesyukuran atas keserbaadaan kita justru seringkali tidak kita ungkapkan dalam bentuk maksimalitas usaha. Maksimalitas untuk mengatasi keinginan negatif, yang bisa mengalahkan kebutuhan positif.

So, kesimpulannya, diri kita sendiri bisa menjadi "musuh" ataupun "sahabat".

Lalu, kapan diri kita menjadi "musuh" bagi diri kita sendiri?

Tentu, ketika keinginan negatif kita yang jelas-jelas mampu menghambat pencapaian cita-cita kita, justru mendapat tempat yang lebih layak dan mendapat pemenuhan yang lebih maksimal dibanding kebutuhan positif yang menjamin pencapaian cita-cita tersebut.

Jadi, mau kita tetapkan sebagai apakah diri kita sendiri? Sebagai sahabat, atau sebagai musuh?

Mari belajar dari mereka.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : Randy Pausch bersama istri dan ketiga anaknya (http://a.abcnews.com)

0 komentar: