Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

BERKORBAN?


Malam tadi, saya dengar dari Mario Teguh, “Berkorban itu sesungguhnya lebih untuk menambah kemuliaan bagi diri kita sendiri.”

Ia mencontohkan –dalam bahasa saya-- : kalau kita memberikan sebagian harta kita untuk zakat, infaq, sodaqoh, sebenarnya kita justru sedang membayar kewajiban dalam rangka “membersihkan” harta kita, sehingga apa yang kita miliki menjadi barokah bagi kita. Dengan “kesyukuran” yang justru sering salah kaprah kita sebut dengan “pengorbanan” itu, kita berhak menunggu janji Tuhan : bersyukurlah, maka akan Ku-tambahkan nikmatmu.

Lalu, ketika kita “berkorban” untuk anak istri atau keluarga kita, kepada siapa sesungguhnya kebahagiaan itu akan kembali? Tak hanya kepada mereka yang kita “korbani”, bukan? Namun juga pada kita. Bahkan, seringkali perumpamaan seorang tua mengatakan, ”Meskipun kita lapar, betapa bahagianya melihat wajah anak-anak kita yang ceria karena mereka bisa menikmati nasi bungkus yang kita bawa pulang, yang sesungguhnya merupakan jatah lembur kita di kantor....”

Dengan demikian, adakah ”pengorbanan” itu yang sebenarnya?

Saya sepakat, bahwa istilah ”pengorbanan” sejatinya muncul karena adanya negative mindset yang mengatakan bahwa pengorbanan identik dengan sebuah pengurangan. Istilah ”berkorban”, bahkan seringkali mengandungkan sebuah unsur ”keterpaksaan”; betapapun kecilnya.

Jika kita memberikan sebagian rizki kita kepada sesama, maka yang di-mindset-kan adalah harta kita akan berkurang. Jika kita sebagai seorang kepala rumah tangga memberikan waktu dan tenaga kita untuk bekerja demi keluarga, maka kita katakan bahwa kesempatan untuk diri kita sendiri menjadi berkurang karenanya. Jika kita relakan sesuatu yang kita miliki kepada kekasih kita, maka kita menyebutnya bahwa kita telah berkorban untuknya.

Padahal, semua itu adalah ”kewajiban”. Tak ada pengurangan di sana. Siapapun yang memiliki harta dunia, memang diwajibkan menyisihkan sebahagiannya, karena dalam hartanya terdapat hak orang lain. Barang siapa berani mengajak berkeluarga hingga berketurunan, maka kewajibannyalah mencarikan nafkah bagi orang-orang yang kepadanya “dititipkan” kehidupannya. Bagi yang ingin mendapatkan keberlanjutan hubungan cinta dengan sang kekasih, maka wajib baginya untuk memberi dan melindungi.

Jadi, bagaimana kalau kita ganti kata “berkorban” dengan “kewajiban untuk memberi”? Ketika kewajiban itu dimaknai sebagai keharusan yang datangnya dari Sang Maha Pemberi Rizki, Sang Maha Pemberi Nafkah, Sang Maha Pemberi Cinta, maka kita bisa lepaskan unsur keterpaksaan. Serasa tak ada yang perlu ”dikorbankan” di situ.

Kita ini hanyalah ”jalan rizki” bagi orang-orang yang mungkin saat ini sedang kekurangan. Kita ini adalah ”sarana” bagi kenyamanan hidup yang memang telah menjadi ”jatah” dari Tuhan untuk anak istri kita. Kita sekedar ”saluran” cinta kasih dan perlindungan yang memang seharusnya menjadi hak bagi kekasih kita.

Jadi, tak perlu ada pamrih memang.

Kembali kepada konteks bahwa memberi adalah untuk meningkatkan kemuliaan diri, memang seolah ada sesuatu yang ”rancu”. Ketika ketanpapamrihan itu merupakan sesuatu yang akan kembali kepada kita, maka ia semestinya disebut dengan ”ikhtiar”. Upaya. Bukan pengorbanan. Upaya yang disertai dengan sebuah keikhlasan, di mana nantinya akan kita lengkapi dengan kepasrahan.

Ikhtiar untuk apa? Untuk membahagiakan diri kita sendiri, melalui kebahagiaan orang lain. Sekali lagi, melalui kebahagiaan orang lain. Bukan penderitaan orang lain.

Repotnya, saat ini banyak orang merasa bahagia karena merasa berhasil mengalahkan orang lain. Banyak caleg yang merasa begitu senang karena ia berhasil terpilih dan menyisihkan saingan-saingannya, bahkan dalam satu partainya sendiri. Banyak pengusaha yang merasa bahagia karena berhasil membuat bangkrut rival bisnisnya, sehingga ia bisa sendirian berkarya sebagai leader di bidangnya.

Mestinya, si caleg baru bisa berbahagia ketika ia bisa benar-benar mengabdikan dirinya bagi nusa bangsa, dan membuat rakyat di negara ini menjadi makmur sejahtera. Kenapa sih, si pengusaha tidak berbahagia ketika ia justru bisa mengangkat harkat martabat sesama pengusaha untuk bersama-sama menjadi kumpulan pengusaha yang sukses?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://media.photobucket.com

4 komentar:

great thought sir
rgds
hendrik lim,


sacrifice is a previledge

 

Saya jadi berfikir...
Ayat pertama surat al-Kautsar...
Allah sudah beri kita nikmat yang banyak...
Oleh sebab itulah maka kita harus bersyukur...diantaranya.. dengan cara berkurban...
Berkurban itu tanda bersyukur..
Sedang bersyukur...menambah nikmat.
Jadi, berkurban itu justru menambah.., bukan mengurangi..:-)

 

@ Noura Qalbi : luar biasa. Terima kasih tambahan gizinya untuk tulisan ini... salam.

 

@ Mr. Hendrik Lim : terima kasih, Pak. Bukunya segera meluncur ke Gramedia kan, Pak? Amien.