Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

KETIKA "TERPAKSA" KALAH....


"Kalau kena tampar, hendaklah dari tangan yang bercincin," kata petuah lama.

Apa maksudnya?

Konon itu berarti, kalau dikalahkan atau dihinakan, lebih baik oleh pihak yang memang lebih kuat, lebih mampu, atau lebih terhormat daripada kita sendiri.

Itulah konteks yang saya baca dari tulisan Nuim Khaiyat dalam buku Dunia di Mata Nuim Khaiyath (2009). Ia sedang "berbicara" masalah Janji Amerika dan Dinasti Bush, yang bercerita tentang "hilangnya tongkat orang tua" bernama Amerika untuk kedua kalinya akibat nafsu besar dalam konflik Timur Tengah (Irak), ketika mencuplik petuah di atas (hal.93).

Saya tak akan mengaitkan petuah itu untuk kasus Amerika. Saya hanya tertarik untuk mengambilnya sebagai "roh" posting hari ini. Tentang kekalahan. Tentang kita jika suatu saat "terpaksa kalah".

Lepas dari aura optimisme yang harus selalu ada dalam langkah kehidupan kita sehari-hari, rasanya tak ada yang salah jika kita tetap memperbincangkan masalah kekalahan.

Sebuah pertandingan, sebuah kompetisi atau persaingan, sebuah perseteruan, tak selamanya bisa menghasilkan kemenangan bersama ataupun win-win solution. Dalam apa saja. Olahraga, olimpiade science, cerdas cermat, persaingan pasar bisnis, tender proyek, bahkan persaingan dalam "memperebutkan" pasangan hidup, dsb. Ada saatnya, harus ada "pemenang". Sehingga pihak lainnya terpaksa menerima sebutan sebagai pihak yang "kalah".

Dalam hal yang demikian, rasanya menjadi sangat bijak petuah orang tua jaman dahulu itu. Kalau terpaksa kalah, kalahlah dari yang memang lebih baik.

Berarti, kapan kita "boleh" terpaksa kalah?

Pertama, jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin, prepare sesiap mungkin, belajar seoptimal mungkin, berlatih sekuat mungkin, dan berdo'a sekhusyuk mungkin.

Kalau Anda kalah kendati sudah melakukan semua itu semua, tetap berbahagialah. Karena Anda memang kalah dari yang lebih baik. Mungkin usaha Anda, persiapan Anda, belajar Anda, latihan Anda dan do'a Anda masih bisa ditingkatkan dari ukuran "maksimal" atau "optimal" versi Anda sekarang ini.

Jika saat ini Anda menganggap latihan 6 jam perhari adalah maksimal, mungkin sebenarnya "maksimal yang benar" adalah 8 jam per hari. Dan ini mungkin dilakukan oleh si pemenang.

Kalau do'a Anda tak pernah lupa dipanjatkan setelah sholat wajib, mungkin sang juara menambahkan doa-doa-nya melalui sarana sholat malam.

Artinya, sesungguhnya masih ada "batas atas" yang lebih tinggi dari ukuran kemaksimalan kita.

So, mari kita tengok, adakah batas atas yang lebih tinggi dari usaha yang sudah kita lakukan untuk menghadapi "pertandingan" itu.

Kedua, kita sesungguhnya tetap jadi "pemenang" jika kita telah melakukan persiapan terbaik atau maksimal tadi. Minimal, kita menang melawan ketidakmauan untuk berlatih, ketidakmauan untuk belajar, bersiap dan berdo'a. Minimal, kita telah menang melawan "nafsu buruk" kita : males-malesan, berlatih asal-asalan, dan keinginan menuruti "bisikan" untuk tidak memohon kepada Tuhan.

Ketiga, tak ada istilah "kalah" sesungguhnya, jika segala usaha, latihan, persiapan, belajar dan do'a tadi telah membuat kita mampu menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari. Konteks kekalahan dalam bertanding atau berkompetisi, bergeser menjadi konteks kemenangan melawan masa lalu. Bukankan menjadi keinginan kita bersama, bahwa kita ingin selalu menjadi yang lebih baik dari hari ke hari?

Keempat, kalaupun harus disebut "kalah", semua itu harus berujung pada tuntutan diri untuk menginstropeksi diri, memperbaiki diri, dan senantiasa membuat diri ini lebih maju. Jika sebuah kekalahan tidak menjadi alasan untuk "nglokro", putus harapan, patah semangat, lupa Tuhan, dan justru menjadi pemacu untuk lebih baik, maka sesungguhnya kita tidak "kalah". Kita tetap menang.

Kelima, selalu ingatlah : menang dan kalah dalam kehidupan di dunia adalah sebuah keniscayaan. Selalu ada orang yang lebih baik dari orang yang lainnya. Dan "pertandingan dunia" itu memang tak selalu membuka pintu bagi semuanya untuk menjadi pemenang.

Lalu, di mana kemenangan bisa menjadi milik semua orang? Di mata Tuhan kita. Dan ini yang terpenting. Di mata Beliau, kita semua bisa menjadi pemenang. Hanya "kompetisi" yang Tuhan buat lah, yang memungkinkan kita semua jadi pemenang.

Pesan posting : so, untuk yang terakhir ini, jangan sampai --naudzubillahi min dzalik-- kita tidak menjadi pemenangnya. Kita semua, tanpa kecuali. Karena Tuhan menyediakan luasan tempat yang tak terbatas untuk para pemenang kehidupan dunia sekaligus akhirat ini.

Namun, kendati luasannya tak terbatas, tidaklah gampang untuk bisa menjadi pemenang di mata Sang Maha Segala. Dan itu menjadi pe-er buat kita semua.

Terutama, saya sendiri.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www1.istockphoto.com

2 komentar:

semoga saya bisa mengamalkan tulisan Bapak ini. karena sangat relevan dg kondisi sy skr.Thanks, Pak.
salam.

 

Saya yakin, Mas Iqbal tetap akan menjadi pemenang yg sesungguhnya.

Seringkali, kita memang hrs sabar utk melihat kemenangan yg kasat mata. Physicly.
Tak masalah, selama kemenangan hakikinya telah kita peroleh. Menang melawan nafsu buruk, menang melawan masa lalu.

Selama kita mjd lbh baik, itu adalah kemenangan.