Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

MEREKA TAK BANYAK BICARA...


Suatu ketika, beberapa bulan setelah saya memasuki sebuah unit kerja baru, saya melihat sebuah --menurut saya-- keluarbiasaan di sana.

Beberapa bagian dalam hierarki pekerjaan, didominasi oleh anak muda. Yach, saya sebut anak muda, karena rata-rata umur mereka antara 7-10 tahun di bawah saya yang 34 tahun tapi kata teman-teman berwajah 43 (atau malah 53?) tahun ini, hehe.

Bukan itu saja pencipta kesan dalam diri saya. Anak-anak muda itu, saya lihat sangat tekun, disiplin, dan tak banyak bicara saat bekerja. Padahal, saya melihat sebuah rutinitas besar dalam kerja mereka. Nyaris tak ada dinamika. Apa yang menjadi pekerjaannya, ya dilaksanakan. Lantas, selesai, pulang. Sama seperti hari kemarin. Juga kemarin lusa. Juga minggu lalu. Dan bahkan, juga bulan lalu.

Tak pernah saya dengar ada "protes" dari mereka kepada atasan atau sistem kerja. Jangankan "protes" atau "masukan". Nuansa diskusi mengenai bagaimana mendapatkan hasil kerja yang lebih baik pun tak ada. Secara hiperbolik saya katakan : mereka bekerja dalam diam. Robot banget.

Bereskah pekerjaannya? Dalam pengamatan saya, beres sih; persis sesuai kemauan atasan langsungnya. Yang saya tahu, kalau tak beres, suara yang keluar dari mulut atasan lah yang mendominasi ruangan mereka, dan mereka pun menerima apapun kata atasan itu dengan takzim, lalu mengerjakannya. Lalu, selesai, pulang. Seperti kemarin. Seperti kemarin lusa. Seperti minggu lalu, dan bahkan bulan lalu.

Secara kasat mata, hmm... ya, mereka bekerja dengan giat, tak banyak cingcong, dan mengerjakannya sampai selesai.

"Lho, bukannya itu bagus, Jar?" mungkin akan ada yang bertanya demikian.

Inilah yang pingin saya kemukakan.

Mereka memang bekerja dengan baik, tak banyak tingkah. Tapi cobalah datang ke ruangan itu, dan lihat satu persatu raut wajah mereka. Lihatlah gerakan badan robotik mereka itu. Wajah yang menunjukkan ketegangan dengan tarikan otot wajah yang cenderung murung, berhias senyum-senyum yang dipaksakan, dengan bibir yang mengatup bukan karena sifat dasar yang pendiam, tapi lebih karena terpaksa dikatupkan.

Saya sampai berpikir, itu kenapa mereka juga seperti saya : tampak lebih tua daripada umur yang sebenarnya. :)

Kenapa saya menyimpulkan demikian?

Karena saya kenal mereka di "luaran" sana. Di luar jam kerja, di luar hubungan atasan bawahan.

Tanpa bermaksud sombong, maaf, saya merasa, gaya kepemimpinan dan kecuekan saya lebih memungkinkan saya untuk bisa mengetahui seperti apa mereka sebenarnya. Dan mereka yang sebenarnya itu, sangat jauh dari "karakter" mereka ketika di kantor, kecuali pada tingkat kedisplinan dan keberesan kerjanya, yang di mata saya justru bisa lebih dari yang seharusnya.

Pernah suatu ketika saya berdiskusi dengan anggota tim saya, tentang anak-anak muda itu.

"Hebat ya mereka, tak banyak omong, isinya cuma kerja dan kerja," begitu 'pancingan' saya membuka diskusi.

Tahukah Anda, apa kata anggota tim saya yang notabene adalah "penghuni lama" unit kerja itu?

"Ya iya lah, Pak. Bagaimana mau banyak bicara, baru mau ngomong aja sudah di-khek!" kata anggota tim saya itu, sambil memperagakan tangan yang sedang menyembelih leher.

Hah? Rupanya benar. "Karakter" dalam bekerja itu rupanya terbentuk sebagai akibat dari gaya kepemimpinan otoriter atasan mereka. Tak ada ruang bagi mereka untuk berimprovisasi. Mengeluarkan ide. Berdiskusi untuk yang lebih baik. Berdebat untuk kepositifan. Untuk mencoba berbicara saja, rupanya mereka sudah menetapkan pilihan : lebih baik diam. Kerjakan apa yang dimaui atasan, lantas selesai dan "aman". Pulang. Terima gaji. Kalaupun ada obrolan, itu berarti sekedar pertanyaan dari anggota tim, yang dijawab dengan instruksi satu arah oleh atasannya.

Oalah...

Baguskah kepemimpinan yang seperti itu?
Untuk "ketenangan" kerja, mungkin bagus. Untuk "kedisiplinan", boleh lah. Untuk "tingkat keberesan pekerjaan", tak salah juga. Tapi, untuk pengembangan organisasi? Untuk pengembangan kemampuan diri orang lain? Si anak buah?

Itu baru masalah. Adem ayem, tenang, tak selalu berarti tak ada masalah. Orang Solo terkenal diam atas berbagai kebijakan politik, namun sesungguhnya menyimpan bara yang bisa sekonyong-konyong menimbulkan ledakan sangat besar. Berkacalah pada tragedi Mei 1998.

Lain dengan orang Surabaya, atau Medan. Yang ceplas ceplos, blak-blakan, to the point dalam bicara dan bertindak, namun setelah itu, selesai. "Bara dendam" atau "bara protes" tak disimpannya lama-lama.

Dengan acuan pola kerja versi atasan, semua memang terkesan beres. Tapi sadarkah kita, bahwa dengan sedikit membuka kran demokrasi dalam bekerja, dengan kesediaan membuka kran aspirasi, kran inspirasi dan ide, kran akses untuk bottom up dan tak sekedar top down, hasil yang diperoleh bisa jauh lebih baik?

Memang ada model kepemimpian yang mengharuskan pemimpin bersikap otoriter. Namun, saya tak melihat perlunya model kepemimpinan itu di unit kerja yang bersangkutan. Anak-anak muda itu anak-anak baik, kok. Ibadahnya rajin-rajin. Pergaulannya, saya lihat adalah pergaulan yang baik. Kecerdasannya juga tinggi. Ide-idenya banyak untuk kemajuan organisasi, yang sayangnya tak pernah bisa terlontar di bagian kerjanya, namun justru terlontar ketika berbicara dengan saya yang ada di bagian lain.

Saya mendengar sendiri ide-ide perbaikan di sana-sini. Ide-ide untuk pola pekerjaan yang lebih sistematis, dan menjadikan pekerjaan semakin efektif. Namun sekali lagi sayang, ide itu terpaksa dipendam, karena gaya kepemimpinan yang tak memungkinkan untuk mengeluarkannya.

So? Mana yang lebih baik menurut Anda?

Atasan yang jaim dan "dihormati" atas dasar ketakutan bawahan? Atau model atasan yang bersedia "menyejajarkan diri" dengan bawahan yang baik dan pinter-pinter itu, meski dengan konsekuensi seolah bawahan bisa "kurang ajar" terhadap si atasan?

Apapun jawaban Anda, tak ada yang salah menurut saya, karena itu pilihan. Yang jelas, saya memiliki keyakinan, bahwa model kedua yang lebih baik.

Tentang "kekurangajaran" bawahan? Tak usahlah ada kekhawatiran itu. Saya melihatnya sebagai sebuah keakraban, karena karyawan yang baik dan pinter, tidak akan pernah bermaksud "mencuri" kewibawaan seorang atasan. Mereka tahu bagaimana harus bersikap terhadap atasan. Atasan yang baik pun, memiliki batas-batas tertentu untuk tidak membuat timnya menjadi tim yang "bebas tak bertanggung jawab", sekaligus tetap menjaga dirinya sebagai pemimpin yang berwibawa.

Bagi saya, ide-ide, masukan dan aspirasi itu, jauh lebih penting bagi organisasi, dibanding keharusan saya untuk seolah-olah berwibawa dan ditakuti.

Kalau Anda?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://media.economist.com

4 komentar:

Andaikan separuh saja perwira sejenis Anda Mas.............

 

Gambarnya lucu abiss, pak, hehe...
Tulisan2 Bapak benar2 inspiratif. personal dan mengalir...jernih...

 

Suwun, Mas Iqbal...
Tapi, tetep masih kalah dengan gurunya yang baru kasih komen ini... hehe.