Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

LUNA MAYA MARAH!


Luna Maya marah!

Lantas, kenapa?

Ya itulah. Itu juga yang menjadi pertanyaan dalam hati saya. Kalau seseorang marah --entah itu pejabat, selebriti, manusia biasa ataupun gembel (maaf) sekalipun--, bukankah itu hal biasa? Bukankah itu manusiawi?

Lantas, kenapa musti jadi berita? Di mana nilai beritanya?

Ah, kalau ada Budiman Hakim di sebelah saya, dan bersama saya ngomongin soal berita infotainment ini, pasti dia akan berkomentar sebagaimana ia tulis dalam buku terbarunya, Sex After Dugem; Catatan Seorang Copywriter :

"Saya nggak pernah ngerti, kenapa orang bisa mencari uang dengan cara begitu ya? Kalo beritanya tentang perkembangan karir atau tentang profesinya si artis sih gak masalah. Atau kalo memberitakan selebriti itu ketangkep karena narkoba juga ok. Ada celeb yang berbuat kriminal juga masih boleh dipublikasikan. Tapi sebagian besar berita infotainment ini memasuki wilayah privasi para public figure itu. Bahkan nyari beritanya maksa dan cenderung neror banget lagi. Ada yang camping di depan rumah si artis segala. Ada yang ngegebrak mobil si selebriti kalo mereka nggak mau ngasih info. Biadab banget ya?

Harusnya kan ada kode etik untuk menghormati kehidupan pribadi orang lain. Kok tega banget ngorek-ngorek borok orang terus disebarkan ke khalayak ramai? Kan gak enak nerima gaji tiap bulan dari hasil menyebarkan aib orang lain? Masa tega sih ngasih makan anak bini kita dari uang hasil kerja seperti itu?"

Itu kata Budiman --yang notabene orang iklan dan akrab dengan artis sekaligus dekat dengan wartawan-- di halaman 189.

Demi melihat "kasus" Luna Maya marah, lihatlah bagaimana sang pemburu berita itu meneror Luna. Tak memberi space sedikitpun bagi Luna untuk "bernafas". Tak ada lagi ruang privat dalam hidup selebriti. Padahal, menikmati ruang privat adalah hak setiap orang, bukan?

Setelahnya, infotainment lantas berulang kali memberitakan tanpa mendalami kembali penyebab marahnya. Ah, Budiman pasti juga akan nyolot seperti tulisannya di halaman 192 :

"Nah, gimana menurut kalian? Kampungan banget kan gosipnya? Masa gitu-gituan jadi berita? Katanya wartawan? Katanya udah resmi jadi anggota PWI? Masa bikin berita kayak gitu? Mana news valuenya? Tolol banget ga sih?"

Saya setuju. Terutama dengan ketiadaan news value-nya.

Maka, menjadi tolol juga kalau posting ini hanya cerita soal Luna Maya yang emosi, kemudian marah. Hehe...

Supaya nggak berubah jadi "postingan tolol", bagaimana kalau saya ajak Anda untuk menengok salah satu salah kaprah dari pengertian emosi? Mau aja ya? :)

Sebenarnya, emosi adalah sesuatu yang bisa kita kendalikan. Ia berada di wilayah yang bisa kita kuasai, seberapapun besarnya pengaruh dari luar diri kita. Meskipun, tetaplah manusiawi jika pada suatu ketika kita "tergoda" untuk emosi, dan kemudian marah.

Bicara tentang pengelolaan emosi, maka buku Emotional Quality Management dari Anthony Dio Martin adalah salah satu buku terbaik, selain Emotional Spiritual Quotient (ESQ)-nya Ary Ginanjar Gustian tentunya.

Salah satu salah kaprah dari pengertian emosi adalah, dimengertinya "emosi" sebagai padanan kata "marah". Luna Maya emosi! Luna Maya marah!

Padahal, marah itu hanya salah satu dari ribuan jenis emosi. "Emosi" sendiri sebenarnya berarti "penuh perasaan." Karenanya, emosi itu tidak melulu adalah persoalan yang jelek. Emosi bisa juga menjadi sesuatu yang baik. Dalam bahasa Anthony Dio Martin, lebih tepat dikatakan, ada "emosi yang menyenangkan" dan ada "emosi yang tidak menyenangkan."

"Emosi pada dasarnya adalah kondisi yang netral. Emosi 'baru' menjadi negatif atau positif tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya," kata Anthony.

Ia mencontohkan rasa emosi berupa rasa iri. Jika fakta yang menyebabkan iri ditanggapi sebagai "ancaman", sehingga si peng-iri lantas menjelek-jelekkan atau bahkan memfitnah orang yang di-iri-kan, itu berarti emosi yang negatif. Tapi, kalau rasa iri itu berubah menjadi semangat untuk mengatakan "Ya, aku juga pasti bisa seperti dia!" lalu diikuti perbaikan diri, maka ia adalah emosi yang positif.

So, sekali lagi, emosi itu sebenarnya netral.

Nah, pe-er bagi kita sebenarnya adalah pengendalian itu. Bagaimana rasa iri, rasa sedih, rasa senang, rasa jengkel, rasa bersalah, rasa marah, rasa kare ayam, rasa baso sapi, rasa ayam bawang.. (eh, tiga yang terakhir ini bukan! Itu rasa salah satu merk mie instan.. hehe), dan sebagainya itu wajar adanya. Lha wong sejak bayi saja kita sudah dibekali tiga macam emosi dasar kok : takut, marah dan senang.

So, kepemilikan emosi bagi seorang Luna Maya ataupun Fajar S Pramono adalah wajar. Tinggal bagaimana menyikapinya, yang biasanya akan terwujud dalam tindakan nyata berikutnya.

Luna Maya memang lepas kendali. Tidak bisa mengontrol emosinya waktu itu. Maka, marahlah ia.

Lain dengan saya. Kalau saya jadi Luna Maya waktu itu (nggak mungkin banget ya? hihihi...), dan dengan bekal ilmu dan kemampuan seputar pengelolaan emosi, saya pastikan..., saya jamin..., saya lebih kalap dari dia, dan saya pastikan salah satu dari wartawan itu sudah kena tonjok tangan kanan atau kena tendang kaki kanan saya! Hahaha....

Lebih parah ternyata.... Tapi, itulah saya. :)


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : (jelas bukan) Luna Maya; dari http://gintingripka.wordpress.com

6 komentar:

Jika kita baca buku “Kenapa Berbikini Tak LAnggar UU Pornografi,” (ada di gramedia) maka yang menolak UU POrn seharusnya mendukung, sebalilknya yang mendukung seharusnya menolak. Kenapa bisa begitu? Dunia memang sudah terbolak-balik. Biar kita tidak terbolak-balik juga, maka buku di atas sangat penting tuk dibaca.

 

Insya Allah, Bang!

Thanks infonya. Salam.

 

kalo gitu gak papa dong tempo hari aku marah hehe sampe mau makan orang!tks for sharing!

 

@ Yulia Astuti :
Yo'i... bukannya aku juga sudah meng-amin-inya dengan "hhhhhhhhhh..." yang sama? :D

 

Luna Mayah.....(Luna Marah)kata si kecil.....

 

apakah berita yang dicari dan disajikan oleh media pers selalu menyajikan hal-hal yang kuno? tolong deh di perbaiki kata-katanya menjadi lebih halus dan beretika. thanks