Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

REAKTIF (+/-), PROAKTIF (+++), PASIF (---)


Liburan tahun baru lalu, kami isi dengan pulkam alias pulang kampung ke daerah asal istri di Solo. Alhamdulillah, sempat menikmati beberapa wisata kuliner, sekaligus walking-walking ke salah satu mall di sana.

Berjalan (eh, bermobil ding!) bersama keluarga besar, asyik dan capek juga. Asyik karena serunya, capek karena keseringan satu mobil cuma saya yang cowok. Terdaulat jadi fixed driver deh.. hehe.

Nah, ada kisah ketika jadi driver ini. Sebenarnya juga kisah yang sangat sering terjadi, di mana saja, baik kala sendiri maupun beramai-ramai.

Kejadian apa itu?
Otot-ototan, eyel-eyelan, bersitegang dengan orang lain gara-gara macet or rebutan masuk parkir! :) Kisah yang klasik sekaligus klise banget memang...

Malem itu, entah kenapa, saya sangat reaktif. Kendati satu mobil hanya saya satu-satunya cowok, saya berani menantang satu mobil penuh dengan lebih banyak orang laki di dalamnya! Sok heroik gitu lah malam itu...

Alhamdulillah juga sih, tantangan itu nggak bersambut. Kalo bersambut, bisa tepar juga kayaknya saya, hehe. Yang pasti, setelahnya saya menyesal. Menyesal banget. Lepas dari siapa yang salah, saya kok jadi super-reaktif gitu ya...

***

Penyesalan memang kurang ada gunanya. (Saya tulis "kurang", bukan "tidak", karena saya kadang merasa menyesal itu ada gunanya juga... hehe). Saya merasa salah ambil sikap. Merasa bertindak tidak pada tempatnya. Tidak seharusnya. Artinya, semestinya saya bisa menahan emosi.

Apalagi jika ingat konsep Stephen Covey yang saya baca ulang di buku The Six Says-nya Herry Tjahjono, tentang adanya "manusia reaktif" dan "manusia proaktif". Dalam kedua konsep itu, terbukti bahwa "manusia reaktif" senantiasa tidak lebih unggul daripada "manusia proaktif". Manusia proaktif lah, yang menurut Covey memenuhi syarat terpenting untuk bisa menjadi manusia excellence. Bahkan Herry bilang, "Say No to Reactive Person!". Intinya, jangan kasih tempat pada manusia yang reaktif... Nah lo!

Di mana sih, beda manusia reaktif dan proaktif?

Ya beda lah, masa ya beda dong... hehe. :)

Manusia reaktif, adalah orang yang cenderung memberikan respon secara spontan, langsung,jangka pendek, dan lebih didominasi oleh pengaruh/stimulus lingkungan. Ia tidak berpikir panjang. Hasil akhirnya, biasanya seringkali negatif. Syaraf otak menjadi tegang, motivasi menurun, malas, dada berdebar, dan sebagainya. Kalau ada keputusan besar yang harus diambil, biasanya orang itu menjadi tidak bijak, sehingga keputusan yang salah lah yang ia tetapkan.

Semua itu adalah kerugian. Baik bagi si manusia reaktif, maupun bagi orang lain.

Sementara manusia proaktif, ia juga "berbuat", merespon sesuatu, namun melalui pertimbangan yang bijak, tanpa harus kehilangan durasi waktu dalam pengambilan keputusan. Artinya, ia mampu berpikir "panjang" dalam waktu yang relatif pendek. Tetap tidak emosional.

Dalam beberapa case, manusia proaktif justru selalu melakukan langkah antisipatif secara cerdas, atau setidaknya sudah mempersiapkan langkah-langkah strategis lanjutan bila ada suatu masalah. Ia bahkan tidak harus menunggu masalah atau stimulus lingkungan itu muncul, tapi ia sudah mampu mempertimbangkan dan memproyeksi kemunculan sebuah fenomena. Ia lah orang-orang yang berpikiran maju. Ia lah orang-orang yang mampu "berjalan di depan", dibanding orang kebanyakan.

***

Dus, jauh lebih baik menjadi manusia proaktif daripada reaktif. Itu jelas.

Namun demikian, menurut saya, kedua tipe manusia di atas masih tergolong manusia "aktif", sehingga masih lebih baik dibanding menjadi "manusia pasif". Manusia yang --jangankan berpikir dan bersikap antisipatif--, mampu merespon stimulus lingkungan yang frontal atau radikal pun tak mampu dilakukannya. Ada masalah atau tidak, ia bersikap sama : diam. Stais. Ya begitu saja. Tak ada langkah beda yang mestinya dilakukannya. Salah ya sudah. Disuruh mbetulin ya dibetulin. Disuruh ngganti lagi ya diganti. Pokoknya, apa kata "instruksi" lah. Kata orang aktif, ia "hidup tapi mati". Ia "hidup tanpa nyawa". Ia sebagaimana benda mati, robot, yang nggak pernah punya inisiatif apapun.

Ini yang paling parah. Jadi, kalaupun manusia reaktif punya sisi kelemahan, ia masih jauh lebih mending daripada manusia pasif.

Orang reaktif bisa menjadi orang yang "benar" karena ia merespon masalah akibat kesalahan-kesalahannya. Ia bisa menjadi karyawan yang lebih baik karena pernah ada peringatan atau teguran dari atasan. Ia bisa menjadi manusia yang bijak karena ia pernah menderita akibat ketidakbijakannya. Ia bisa menjadi manusia yang sabar karena pernah "termakan" ketinggian emosionalitasnya.

So, sebagaimana arti judul posting ini : menjadi manusia reaktif boleh, asal kita mampu mengambil hikmah daripadanya, untuk kemudian menjadikannya bahan perbaikan diri. Kalau tidak mampu, jangan. Menjadi manusia proaktif, ini yang sangat dianjurkan. Namun, menjadi manusia pasif, no way lah yau! Tak ada tempat bagi manusia pasif ini. OK?


Salam perenungan,

Fajar S Pramono



Ilustrasi : http://v.mercola.com

7 komentar:

Kayaknya aku bakal jadi pembaca setiamu deh. Masih inget aku khan?? Aku renungi dulu ya semua tulisan2mu, ntar aku kirim coret2anku.

 

Buat gue Jar, kadang2 menjadi reaktif itu perlu. Menjadi proaktif (excelence tuh) capek loh.. Reaktif untuk sekedar melepaskan himpitan kepenatan batin ataupun ketidakpedulian pikiran...itu memang kadang menolong. Tapi gimanapun juga efeknya pasti akan terbatasi secara sosial disekeliling kita. Ya iya lah....kita khan makhluk sosial katanya....kalau nggak udah dikerangkeng kita di RSJ Grogol karena degradasi mental akibat terlalu reaktif he he he....Btw menjadi reaktif itu emang punya sisi - / + tergantung pada situasi apa reaksi tersebut terpicu. Karena kadang2 bersikap reaktif juga bisa menyelamatkan kita he he he.... Gimanapun juga kita bisa menjadi proaktif dengan belajar secara bijaksana dari ke-reaktif-an kita juga. Bahkan dari bersikap pasif juga kita bisa memetik hikmahnya. Bisa jadi kita pasif karena "mengintai" keadaan lho.... Tapi kalo menjadikan pasif sebagai tameng untuk ketidakmampuan diri ya sorry la yau.... Thanks buat ulasanmu yang mencerahkan gue....

 

Ya ampun! Okiiiiiii....!!!
Kamu masih musume kan? Hehehe..

Di mana sekarang?

Tentang reaktif, itu makanya aku sedikit "berbeda pendapat" dengan Bung Herry Priyono. Kalau Bung Herry "say no to reactive person", aku masih bisa "say yes". Tak lain ya karena reaktif itu sangat lekat dengan sisi kemanusiawian. Juga karena tak selalu jelek.

Reaksi yang spontan itu pun seringkali merupakan bawaan. Refleks.

Tapi juga, argumen bahwasanya reaktifitas (halah, bahasa apa maneh iki?! hehe) itu manusiawi, tidak bisa mengesahkan kita tidak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Bukankah karakter itu sesungguhnya merupakan hasil pembiasaan diri?

Hanya, mungkin kita memang harus lebih realistis. Reaktif gak papa, tapi reaksi yang baik dan untuk yang baik-baik saja... :)

Ya wis. Sukses ya, Ki! Kirim kabar ke email-ku dong. Ta' tunggu.

Salam.

 

Hallo Mas Fajar
Nice reading your blog
dan senang melihat Mas Fajar selalu bergairah membuat orang menjadi lebih baik.dan saya salah satunya yang merasa menjadi lebih baik setelah membaca blog Mas Fajar.

salam kenal

Hendrik lim
hendriklim@bringdaddyhome.com

 

@ Hendrik Lim :

Salam kenal kembali, Bung Hendrik.

Sebuah kehormatan besar bagi blog saya, dikunjungi pakar parenting, motivator sekaligus penulis hebat sekaliber Bung Hendrik Lim.

Salut. Anda adalah salah satu guru saya.

Insya Allah, pertemanan ini akan berlanjut. Terima kasih.

 

pak Fajar,
it is my pleasure sir,
setiap kali saya mampir di blog Mas Fajar, saya selalu geleng geleng kepala dan senyum senyum sendiri, dan senang. betapa banyak 'air' yang dapat saya minum dalam perjalanan singgah tersebut.
dan saya pun tahu, banyak pesinggah seperti saya di blog Mas.

sungguh sharing yang otentik dari seorang tulus. Fajar.
saya berkantor di HR Rasuna Said, Mas, Look forward to see you soon,
rgds
hendrik lim

 

Bung Hendrik, terima kasih atas respon yang sangat menggembirakan buat saya. Tapi, itu sanjungan yang terlalu "berat" buat saya. :)

Btw, jika berkenan, saya mohon dapat diberikan contact number Bung Hendrik, atau untuk kenyamanan, --mohon maaf-- mohon dapat dikirim contact number tersebut ke padjar_espe@yahoo.com. Kebetulan, kantor saya di Jl. Veteran. Sepeminuman kopi dari Rasuna Said, kalau minumnya sedikit-sedikit.. hehe.

Saya yakin, banyak yang bisa kita sharing-kan.

Thanks before.