Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

RYAN FARRINGTON : AKU HARUS BERGEGAS....


Catatan awal : kalau saya sering menyebut nama buku atau nama majalah sebagai sumber inspirasi, yakinlah ini bukan pesan sponsor. :) Hanya karena hobi membaca lah, yang menempatkan literasi sebagai sumber ide, sumber motivasi, sumber pemahaman baru, dan sumber introspeksi.

Termasuk juga untuk posting kali ini.

Saya tidak menyarankan Anda membeli buku atau majalahnya, tapi hanya menganjurkan Anda untuk membacanya. Ya, sekedar membacanya. Buku atau majalahnya boleh pinjem. Boleh liat di internet, kalau ada. Boleh juga sekedar ngintip di toko buku atau di kios koran dan majalah.

***

Adalah Ryan Farrington, yang menjadi tempat berkaca kali ini. Dan adalah Reader's Digest Indonesia edisi Januari 2009, sumber inspirasinya.

Bacalah sendiri, karena saya tak akan bisa menceritakan kisah Ryan sebagaimana Robert Kiener --penulis artikel itu-- berkisah.

Ryan Farrington adalah seorang pemuda Birmingham, Inggris. Saat ini, usianya 19 tahun. Dan ia adalah salah satu dari 10 pelari terbaik Inggris saat ini di kelompok umurnya.

Sekilas, tak ada yang istimewa. Seorang pemuda berprestasi, itu hal yang wajar. Namun, tahukah Anda bahwa Ryan sesungguhnya adalah seorang penderita distonia?

Apa itu distonia?

Distonia adalah sebuah penyakit langka, dengan gejala dan reaksi layaknya penderita penyakit parkinson. Ia tidak hanya tak mampu mengendalikan gerak tubuhnya ketika penyakit itu menyerang, namun bahkan memberikan efek sakit yang luar biasa kepada obyek yang diserangnya.

Dalam sebuah kesempatan, Ryan menulis dalam buku hariannya, "Rasa sakitnya seperti disengat listrik tegangan tinggi. Seakan aku dihunjam pisau. Aku terus menyembunyikan rasa sakit itu karena ketakutan, malu dan frustasi."

Berdasarkan keterangan ahli, rasa sakit itu memang akan terus meningkat seiring peningkatan umurnya. Dan yang lebih parah, disinyalir belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu.

Jangankan obat. Penyebab munculnya penyakit itu pun belum jelas diketahui. Dugaan para peneliti, ia merupakan akibat kondisi abnormal di basal ganglia, yakni bagian dari otak yang berfungsi layaknya "papan sirkuit" yang memproses berbagai perintah untuk mengontrol gerak tubuh.

Dalam ketidakberdayaannya mengendalikan gerak tubuh itulah, maka Ryan pernah ditemukan keluarganya sedang terkapar di tengah trotoar, tanpa daya dan bahkan kesakitan. Tiba-tiba kakinya tak bisa digerakkan. "Rasanya sakiiiit sekali," ujar Ryan kecil --saat itu usianya 9 tahun-- merintih. Ia pun tak kuat lagi berdiri.

Di rumah pun, tak jarang orang tuanya dikejutkan oleh teriakan Ryan yang tiba-tiba menjadi "lumpuh". Tak berdaya sama sekali. Suatu ketika ia ditemukan tertelungkup di lantai, dengan otot-otot punggung yang tertarik karena kejang hebat. Digambarkan, seolah ada beberapa ulat kecil yang sedang merayapi dan membelit tubuh Ryan.

Sakit itu bisa berumur hanya dua minggu, tapi tak jarang justru lebih beberapa minggu lagi. Sebuah masa yang hampir selalu sama dengan "masa sehat"-nya. Dan ketika penyakit itu muncul, ia memang "terpaksa" menjadi orang yang seolah cacat : memakai kursi roda, dan harus mendapat bantuan pihak ketiga untuk beraktivitas.

Ketika berkonsultsi dengan dokter, Ryan dan ibunya justru dihadapkan pada kemungkinan kelumpuhan otak, yang secara otomatis mengakibatkan kelumpuhan fisik. Menurut sang dokter, ada cara untuk membuat tulang belakangnya tidak merasakan sakit lagi, yakni dengan membuat syarafnya mati rasa. Tetapi konsekuensinya, kedua kakinya tidak bisa dipergunakan lagi. Ryan harus memakai kursi roda seumur hidupnya, kata dokter itu. Dan bagi Ryan dan ibunya, itu adalah, "Tidaaaak...!!!"

***

Namun, lihatlah kebesaran Tuhan, dan saksikanlah kebesaran tekad. Tubuh Ryan memang bisa lumpuh karena distonia, namun tidak dengan tekadnya.

Adalah Samantha Butts, seorang fisioterapis di klinik rehabilitasi Manor Hospital, yang mampu memberi kepercayaan diri luar biasa kepada Ryan. Waktu itu ia berumur 13 tahun. Tahun 2002. Samantha lah yang selalu mengatakan, "Kau bisa melakukannya. Aku tahu kamu pasti bisa."

Mulailah Ryan belajar berjalan di papan keseimbangan, berpegang dua tangan pada besi tumpuan, untuk kemudian bisa berlari di treadmill! Sampai suatu ketika, saat umur Ryan menunjuk angka 15, ia mendapat kesempatan untuk menjadi murid Frank Gardner. Seorang pelatih atletik di klub Birchfield Harriers.

Dari pengalamannya melatih ribuan anak, ia meyakini ada yang istimewa dalam diri Ryan. Dan sejak awal bertemu Ryan, ia bisa melihat "keistimewaan" itu : "nyala api" yang berkobar di matanya! Sebuah gambaran tekad yang luar biasa! Dan dari pengalaman Gardner, itulah ciri yang dimiliki semua juara.

***

Luar biasa. Maha Besar Allah. Maha Besar Tuhan. Hanya dengan tekad luar biasa dan kebesaran Tuhan, maka tak ada yang tak mungkin. Masih banyak orang yang tak percaya bahwa sang jagoan lari itu, seorang Ryan Farrington, adalah pengidap penyakit distonia, bahkan sampai dengan saat ini!

Ada dua hal menyentuh dari cerita yang dikisahkan secara apik itu.

Pertama, Lisa --ibunda Ryan-- saat ini telah mengajukan cuti kepada bosnya selama dua minggu pada 2012 (baca lagi : dua ribu dua belas!), saat di mana Olimpiade musim panas akan dilaksanakan di London. Untuk apa? Untuk menyaksikan Ryan berlomba di ajang itu, karena ia percaya sepenuh hati, bahwa akan ada nama anaknya yang luar biasa di dalam daftar peserta lomba empat tahun nanti! Masya Allah... sebuah optimisme, dukungan dan bukti kepercayaan yang luar biasa dari seorang ibu.

Kedua, ada kata-kata yang menyentuh, yang keluar dari bibir Ryan. Kata Ryan, "Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa berlari. Jadi aku harus bergegas...."

Untuk kalimat terakhir ini, saya menitikkan air mata....

***

Ya. Tak ada yang tak mungkin, jika Tuhan berkehendak. Ryan pun sudah membuktikan, kekuatan tekad dan optimisme adalah modal yang luar biasa.

Dan tentang "berlari", "bergegas", saya jadi teringat sebuah puisi tradisional rimba Afrika, yang saya temukan di buku karya William Tanuwidjaja. Kendati tak sepenuhnya berkorelasi dengan kisah di atas, saya rasa tak ada jeleknya untuk dijadikan tambahan bahan renungan kita hari ini.

Inilah puisi itu :

Setiap kali saat fajar menyingsing,
seekor rusa terjaga.
Ia tahu hari ini ia harus lari lebih cepat
dari seekor singa yang tercepat.
Jika tidak, ia akan terbunuh.

Setiap kali saat fajar menyingsing,
seekor singa terbangun dari tidurnya.
Ia tahun hari ini ia harus mampu
mengejar rusa yang paling lambat.
Jika tidak, ia akan mati kelaparan.

Tak masalah apakah kau seekor rusa,
atau seekor singa.
Karena setiap kali fajar menyingsing,
sebaiknya engkau mulai berlari.

***


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Foto Ryan Farrington : http://www.bbc.co.uk

2 komentar:

Kita memang harus bergegas, Jar. Betapa kisah yang kamu ulas membuat aku tersedak sesak. Lihat aja waktu tidak mau berkompromi dengan keinginan kita. Betapa banyak hal-hal yang ingin kita lakukan pada akhirnya hanya menjadi angan semata. Banyak waktu yang telah terbuang (tanpa sadar) dengan percuma dan (kadang) sudah terlambat untuk menyesalinya. Allah SWT telah memberikan kita berkah dengan 24 jam kali sekian perjalanan hidup kita. Apa yang sudah kita lakukan dengan berjam-jam yang telah di-berkah-kan Allah SWT kepada kita itu??? Itu yang sering membuat saya menitikkan air mata dipenghujung malam, dan memohon kepada yang Memberi Hidup agar diberikan kesempatan 24 jam lagi keesokkannya. Untuk itulah setiap pagi saya pasti bergegas, berharap agar hari yang diberikan-Nya tidak akan berlalu sia-sia.
Terima kasih untuk memperkuat pendalaman renunganku, Jar. Semoga Allah SWT terus memberikan "lampu yang terang" di hati dan pikiranmu agar bisa menerangi sekelilingmu, dengang tulisan2mu.

 

Thanks atensinya, Ki. Harapanku dalam menulis sesungguhnya adalah : memberikan ingatan (bahkan seringkali peringatan) untuk diriku sendiri.

Kalaupun ada yang bisa bermanfaat bagi orang lain, sesungguhnya itu adalah "hadiah" dari-Nya, yang semoga menjadi ladang ibadah bagi kita semua.