Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

RENUNGAN BUAT PARA BANKIR


Sungguh, saya "ngenes" abis, sedih, bahkan sempat "tersinggung" membaca sebuah quote dari Mark Twain di sebuah buku yang baru saya beli di Gunung Agung Kwitang minggu lalu. Padahal, quotation adalah salah satu sarapan rohani saya yang bukan hanya saya makan ketika saya menemukan, tapi bahkan saya cari-cari ketika saya tidak melihatnya di meja makan kerohanian saya.

Tapi, buru-buru saya menepis, bahwa saya tidak boleh "tersinggung". Buru-buru saya mengingatkan diri sendiri, bahwa kritik adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa bayaran.

Hingga akhirnya, saya bisa tersenyum, dan pada akhirnya bersedia merenung.

Apa sih, kata Mark Twain?

Kata beliau, "Seorang bankir adalah seorang kawan yang meminjamkan payung kepada Anda tatkala matahari bersinar terik dan menginginkannya kembali beberapa menit sebelum turun hujan."

Ya Allah, apakah se-"hina" itu pekerjaan saya?
Ya Allah, apakah memang begitu profesi bankir di mata orang?

Saya mengaku diri sebagai bankir. Saya banyak berhubungan dengan begitu banyak orang, dan merasa paling bahagia ketika bisa memberikan layanan terbaik yang bisa membantu orang-orang itu. Menjadi lebih berbahagia, ketika saya ada di posisi yang memungkinkan bantuan layanan itu tidak hanya dapat dilakukan pada jam kerja, namun bahkan pada jam-jam di luar jam kerja. Sekedar diskusi, ngobrol, ada yang menyebutnya "konsultasi", ada yang curhat. Tidak hanya kepada nasabah kantor saya, tapi kepada siapa pun.

Saya menulis edukasi perbankan di media massa. Menulis opini dan gagasan untuk urun rembug masalah perbankan di sana-sini. Saya menulis buku. Saya mengisi forum-forum pertemuan. Seminar, workshop, sampai yang sekedar kumpul-kumpul. Semua itu semata untuk bisa memberi payung, tidak saja ketika hujan mendera, tapi sebisa mungkin menyiapkan payungnya sebelum hujan itu datang.

Selasa pagi kemarin (23/12/08), dua SMS masuk. Yang satu dari seorang bapak di Probolinggo, Jawa Timur, yang satu dari seorang ibu di Singkawang, Kalimatan Barat.

Pak B dari Probolinggo mengucapkan terima kasih, karena hanya dengan bertanya via SMS serta membaca buku saya yang kemudian beliau aplikasikan isinya, saat ini beliau telah dipercaya untuk menerima fasilitas pembiayaan dari sebuah bank, yang kemudian dirasakannya sangat membantu usahanya. Apalagi momentumnya sangat pas, di mana kondisi ekonomi menuntut peningkatan modal yang tidak sedikit untuk usaha yang sedang digelutinya.

Ibu J dari Singkawang minta waktu untuk konsultasi (saya lebih senang menyebutnya curhat atau sharing), dan Alhamdulillah sudah bisa saya penuhi tadi malam. Beliau berkisah tentang sedang adanya masalah antara beliau dan bank-nya, dan merasa sangat senang karena akhirnya mendapatkan pencerahan dan bahkan solusi tambahan bagi masalahnya tersebut.

Mohon maaf, saya bukan mau narsis. Mau nggedhein kepala. Enggak. Saya terpaksa sampaikan, hanya karena saya merasa tidak melakukan apa yang dikatakan Mark Twain kali ini.

***

Tapi, Alhamdulillah, dengan tetap berpikir dan bersikap positif, saya bisa mengerti. Mungkin Mark Twain sekedar mengingatkan, bahwa tak selamanya bank bisa menjadi "sinterklas" bagi kesulitan likuiditas yang sedang dihadapi seorang pengusaha. Bank tak selalu bisa menjadi "juru selamat" bagi masalah keuangan seseorang.

Untuk itu, saya bisa mengiyakan. Karena memang, tak semua produk yang ada bisa mengakomodir sebegitu banyak permasalahan rigid yang ada di masyarakat.

Ketika saya menganggap quote itu sebagai pengawal jiwa, saya justru mengucap terima kasih pada Mark Twain. Saya sangat merasa diingatkan, agar saya tidak menjadi bankir seperti yang beliau gambarkan. Yang seenaknya sendiri, yang hanya mengambil keuntungan sesaat dengan men-dzalimi nasabah, dan tetap berpegang teguh pada prinsip melayani.

Berpikir seperti itu, saya menjadi lebih bersyukur. Thank you, Mr. Mark Twain. Anda telah mengingatkan saya.

Tak hanya itu. Jika Anda yang sedang membaca posting ini juga berprofesi sebagai bankir, mari kita jadikan quote di atas sebagai bahan renungan kita. Mari kita tunjukkan, bahwa isi quote itu tidak sesuai dengan kenyataan.

Mari.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://www.hbtauctions.com

2 komentar:

Bagi sebagian pengusaha atau calon pengusaha untuk memenuhi syarat bankable saja susahnya setengah mati, lha bagaimana si pengusaha tsb hendak merintis usaha (bukan mengembangkan, karena ini baru mau akan berusaha), riilnya bank tidak terlalu mau mengambil resiko terhadap pengusaha - pengusaha yang "baru mau akan" berusaha, bank lebih tertarik terhadap pengusaha yang telah survive karena, untungnya di tempat qta berkarya dan mengabdi, itu tidak terjadi, karena telah ada KUR, qta tidak hanya profit centre masih ada unsur "misi pemerintah", maka seyogyanya para pengusaha lebih memilih qta bank dengan reputasi bagus, bukti lain : saat semua bank stop selling qta masih expansive, bank lain mana berani.....ach....barangkali saya salah ding.............

 

Bank qta? Bank Sampeyan kalee... hihihi!

Serius, Mas : Alhamdulillah, menurut saya Sampeyan nggak salah. Bank qta itu masih setia pada visi misi, sehingga kita bisa (baca : boleh) ikut berbangga.

Tetap semangat, tetap ekspansi!