Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

REMY SYLADO DAN ERIKA


Siapa Remy Silado?

Meskipun --katakanlah-- Anda bukan peminat tinggi di bidang sastra, saya yakin Anda pernah mendengar nama besar sang satrawan ini. Ya, ia adalah seorang novelis, seorang penyair dan seorang seniman berkarakter "unik", di antaranya adalah kesukaannya berbaju serba putih.

Karya-karya luar biasa sekaligus master piece sastrawan bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong alias Yapi Tambayong dan juga sering menulis dengan nama pena Alif Danya Munsyi untuk tulisan-tulisan kebahasaannya antara lain adalah Ca Bau Kan, Sam Po Kong, Kerudung Merah Kirmizi, Kembang Jepun, Parijs van Java, 9 Oktober 1740, Siau Ling, Menunggu Matahari Melbourne, Mimi lan Mintuna, dua seri Novel Pangeran Diponegoro, Boulevard de Clichy, kumpulan esai bahasa 9 dari 10 Bahasa Indonesia adalah Asing, Bahasa Menunjukkan Bangsa, Kamus Bahasa dan Budaya Manado, kumpulan Puisi Mbeling, puisi-puisi dalam Kerygma dan Martyria, juga Sang FX.

Lalu, siapakah Erika?

Sepintas, ia mirip nama seorang wanita. Istrinya kah? Kekasihnya kah?

Bukan. Meskipun bukan istri atau kekasih, ia pasti akan mengakui bahwa sang Erika adalah tambatan hatinya. Sebuah nama yang sangat berarti baginya. Bahkan sampai sekarang tetap ada di relung cintanya.

Lalu, siapakah Erika?

Ia adalah sebuah merk mesin tik produksi Jerman pada awal 1940-an, yang menjadi mesin tik pertama yang bisa dimiliki Remy Sylado ketika menjadi wartawan di Semarang.

Mesin tik Erika inilah yang membuat lelaki kelahiran Makassar 12 Juli 1945 itu tidak pernah bisa berhenti berkarya, dan memulai ranah pengembaraannya di jagad sastra Indonesia.

Kecintaannya pada Erika, menciptakan kecintaan yang dalam pada sebuah alat bernama mesin tik. Dan tahukah Anda, jika di balik kesuksesan dan hasil karyanya yang luar biasa hingga saat ini, seorang Remy tak pernah mau berkarya dengan mesin tulis modern selayaknya komputer atau notebook, dan tetap setia pada pijitan jari di atas tuts mesin tiknya?

"Bagi saya, kenyamanan menggunakan mesin tik tidak bisa tergantikan. Suara tuts ketika ditekan seolah menjadi musik pengiring saat menulis, yang dapat memicu ide-ide cerita baru," katanya di majalah Reader's Digest edisi November 2008.

Mesin tik, bagi Remy, seolah adalah "nyawa" kepenulisannya. Kini ia mengaku tengah mengetik novel terbarunya menggunakan mesin tik. Kali ini bukan bersama yang terkasih Erika, tapi bersama "saudara laki-laki"-nya, alias Brother. Di penghujung tuturannya, ia menegaskan, "Dan sampai kapan pun saya akan terus menggunakan mesin tik untuk menghasilkan lebih banyak karya sastra."

***


Ada pelajaran dari kisah Remy dan Erika?

Setidaknya kita bisa menangkap, bahwa tak selamanya sebuah hasil kerja yang bagus harus didukung oleh kekuatan teknologi. Harus di-back up oleh fasilitas yang "wah". Harus ditopang oleh "modal" yang tidak sedikit.

Remy, tentu tidak akan menemui kendala jika sekedar ingin punya PC ataupun notebook. Tapi, saya yakin dia sendiri akan sangsi, adakah karya ciptaannya akan sebagus jika ia menggunakan mesin tik manual? Belum tentu. Sisi emosionalnya yang bicara.

Itu juga sebabnya sekarang, banyak orang mencoba kembali kepada "khittah"-nya. Banyak yang ingin "kembali ke alam" misalnya. Rumah, kantor, dan sebagainya, dikonsep tanpa meninggalkan keasrian alam. Karena apa? Karena nuansa alam akan mampu menyejukkan jiwa. Mneyegarkan otak. Tanaman hijau, bau pupuk kandang, kicauan burung, bunyi gemericik air, tak akan bisa tergantikan oleh tanaman plastik, aroma parfum bernuansa kotoran hewan, rekaman suara burung ataupun kaset tentang gemericik air.

Menyenangkan juga, banyak orang juga mencoba kembali kepada "khittah" spiritualitasnya. Para generasi sukses, kembali "mengingat" Tuhan, manakala perjuangannya ke arah sukses terpaksa banyak meninggalkan kesempatannya bercengkerama dengan Tuhan. Kepedulian sosial, kesediaan berderma dan bersedekah, program Corporate Social Responsibility, semuanya menunjukkan kesadaran bahwa kita ini hanyalah "pelaku hidup", yang tak bisa meninggalkan sisi kemanusiaan dan ke-Tuhan-annya.

Semua itu demi pencapaian yang lebih baik.

***


Kembali kepada Remy dan Erika.

Rasanya, tak ada alasan lagi untuk menunda sukses, hanya karena kebelumadaan fasilitas. Ide kreatif, ide bisnis, juga ide kesuksesan bisa muncul di mana saja. Tak pandang tempat, ada fasilitas ataupun tidak. So, jangan hanya karena ketiadaan itu, kita menunda sukses. Laksanakan segera, dalam kondisi seperti apapun itu. Manfaatkan apa yang sudah tersedia di sekitar kita. Syukur-syukur, jika pada kemudiannya kita bisa melengkapinya dengan fasilitas terbaik.

Karena, kunci kesuksesan antara lain adalah : mulai dari sekarang.

Menurut Anda?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi :
- Remy Sylado : http://www.kapanlagi.com
- Erika Typewriter : http://farm1.static.flickr.com

0 komentar: