Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

ENDORSEMENT


Hari ini saya ke Gramedia Matraman. Selain beberapa buku baru dan juga buku untuk anak-anak, saya juga membeli buku keempat Cak Eko, yang pada akhirnya terbit dengan judul besar "The Cak Eko Way". Juga cetakan ketiga dari buku Pak Thomas Sugiarto --"Your Great Success Starts from Now!".

Buku Cak Eko memang buku baru. Sementara buku Pak Thomas, ini adalah kali keempat saya membelinya. Yang pertama untuk saya sendiri, dan yang kedua untuk kawan marketer saya di kantor lama.

Lantas, kenapa saya membeli lagi?

Ya, karena "kebetulan", ada endorsement saya di sana. Beberapa waktu lalu, Pak Thomas memang minta endorsement ke saya. Sebuah kehormatan, dan Alhamdulillah, karena saya merasa mendapat manfaat dari buku tersebut, dengan senang hati saya memberikannya.

Khusus untuk buku Cak Eko, ini adalah kali ketiga saya dimintai endorsement oleh beliau. Saya bersyukur dan senang mendapat kepercayaan yang tak semua orang bisa dapatkan itu. Sebelum buku-buku Cak Eko, juga sudah ada buku dari penulis lain yang di dalamnya memuat endorsement saya.

***

Bicara tentang endorsement, sesungguhnya saya punya "ganjelan". Ada sesuatu yang "merisaukan". Bukan dalam konteks endorsement yang harus saya buat dan sampaikan, tetapi pandangan sebagian orang (baca : termasuk para penulis) tentang endorsement itu sendiri.

Dalam sebuah situs, saya membaca tulisan tentang beberapa manfaat endorsement, dilihat dari sisi orang yang dimintai endorsement. Kebetulan, tulisan tersebut menceritakan manfaat endorsement dari sudut personal branding jika kita juga seorang penulis (buku).

Salah satunya, menurut penulis artikel itu, selain menjadi alat promosi bagi buku yang di-endorse, sesungguhnya pemberi endorsement juga sedang diiklankan atau dipromosikan oleh buku tersebut. "Melalui endorsement itulah akhirnya orang tahu siapa kita dan apa karya kita," begitu tulisnya. Dalam bagian selanjutnya, ia menyarankan bagaimana agar endorsement yang kita berikan bisa memberi nilai tambah bagi kita.

Lebih lanjut lagi, ia juga memberikan tips agar endorsement yang kita berikan bisa "menarik perhatian", lantas muncul di kaver belakang buku (atau bahkan kaver depan), dan pada akhirnya, semakin tenar dan populer lah personal brand kita.

***

Artikel itu bagus, dan bagaimanapun, kendati ia mengedepankan "keuntungan" endorser sebagai wahana branding, ia masih menyarankan suatu tips yang baik : jujur.

Kalau begitu, apa "ganjelan" di hati saya?

Kendati tidak sepenuhnya tidak setuju terhadap isi tulisan itu, kok saya merasa bahwa "tujuan" mem-branding diri lewat endorsement kok kurang..., gimana gitu! Saya kok kurang sreg ya?

Pikiran saya mengatakan begini : seorang penulis buku minta endorsement, tentu dengan tujuan agar kita bisa memperkuat aspek persuasi kepada calon pembaca, dengan menyampaikan keunggulan atau kekuatan buku secara jujur. Artinya, obyek dari kehadiran endorsement itu adalah penilaian bahwa buku yang di-endorse tadi layak untuk dibaca, dan tentunya juga dibeli. Artinya lagi, itu untuk kepentingan penulis buku. Bukan kita.

Menurut saya, ini yang seharusnya menjadi niat kita ketika meng-endorse. Cukup itu saja. Nggak perlu ada "niat" lain, apalagi yang berkaitan dengan kepentingan kita sendiri. Kalaupun ada "keuntungan" yang kita peroleh --misalnya penguatan personal brand peng-endorse--, biarlah itu merupakan konsekuensi alami. Biarkan itu berjalan sesuai kehendak-Nya. Itu sekedar dampak; dampak yang menyenangkan, yang tak perlu "di-niat-i".

Itu menurut saya. Dan karena prinsip itulah, saya pernah kaget --bahkan kehilangan simpati; mohon maaf-- ketika ada seorang penulis yang memberi ucapan kepada saya waktu buku saya terbit, dan kemudian berpesan, "Nanti aku dimintai endorsement untuk buku kedua kamu ya!"

Deg! Permintaan itu diucapkan dengan sangat serius. Sang penulis itu sendiri adalah teman, bahkan saya telah menganggapnya sebagai sahabat. Hanya, bidang kepenulisannya sangat berbeda dengan saya. Dan sekali lagi mohon maaf, tampak sekali bahwa yang diinginkannya, sesungguhnya adalah bagaimana dia bisa ikut dan menjadi lebih "populer" dibanding saat ia bicara.

Well. Ia tak salah. Ia berhak untuk memiliki kepentingan itu. Tapi bagi saya, kok naif sekali ya?

Aktivitas memberi, memang lebih baik daripada menerima. Tapi, jika niat di belakangnya kurang (baca : tidak) pas atau bahkan kurang baik, apa ya bisa dinilai bagus aktivitas "memberi" itu?

(Hampir) sama dengan seperti orang beribadah, bersedekah, atau apapun kegiatan baik lainnya, tapi dengan harapan dilihat orang sebagai "orang baik". Niatnya tidak sepenuhnya atas nama Yang Di Atas.

Tapi, entahlah. Wallahu a'lam bishawab. Saya juga sekedar "curhat".


Salam curhat,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://media.independent.com

0 komentar: