Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

BAHKAN SEKEDAR KEINGINAN...


Suatu ketika, dalam sebuah wawancara kenaikan jabatan, dalam bilangan tak sampai lima menit pertama, sebagai pewawancara saya menyatakan, "Cukup! Saya tidak akan bertanya apapun lagi." Saya lempar pernyataan ini ke forum, utamanya kepada dua pewawancara lainnya. Bagi saya, wawancara kepada sang calon tak ada gunanya, dan kesimpulan saya adalah : yang bersangkutan tidak lolos!

Lho, emangnya kenapa?

Bagaimana tidak?

Sebutlah seleksi itu untuk posisi X. Ketika sebagai penanya pertama saya bertanya mengenai motivasi sang calon untuk menjadi seorang X, ia hanya menggelengkan kepala. Jelas saya heran. Saya dhedhes (apa ya, bahasa Indonesianya "dhedhes"? Hehe... saya "kejar" lagi lah, begitu mungkin) lagi, sebenarnya ia kepingin jadi X nggak sih?

Tahu jawabnya? "Tidak," plus ketegasan sikap berupa gelengan kepala, meski disampaikannya sembari tertunduk lemah tanpa gairah dan tatapan mata yang tak berani memandang ke arah pewawancara.

"Hah? Sekedar ingin pun tidak?" tanya saya lagi.

Dan ia tetap menggelengkan kepala.

Masih penasaran, dan karena saya tahu bahwa bahkan orang tuanya adalah "alumnus" yang cukup sukses di perusahaan yang sama dengannya, serta dengan asumsi ia sangat paham mengenai "peluang karir" di perusahaan itu, saya tanya lagi ke sang calon, yang terus tertunduk itu.

"Hari ini, berapa umur Saudara?"

"Tiga puluh satu." Sebuah jawaban, yang --lagi-lagi-- disampaikan tanpa gairah.

"Tiga puluh satu. Berarti, perjalanan karir Anda masih memungkinkan hingga dua puluh empat tahun ke depan," kata saya. "Masih cukup panjang untuk bisa mengejar suatu target posisi atau jabatan tertentu mestinya."

"Nah," lanjut saya, "Saudara tahu bukan, jenjang karir yang ada di perusahaan Saudara?" Sang calon mengangguk.

"Kalau begitu, Anda masih mungkin menjadi Y, Z, A ataupun B," simpul saya.

"Apa 'cita-cita' Anda, apa 'obsesi' Anda, atau posisi minimal apa yang menjadi target Anda dalam berkarir di perusahaan ini sebelum Anda pensiun?" kata saya lagi.

Diam. Hening. Sang calon tak menjawab apapun.

"Tak punya cita-cita atau target?" kejar saya.

Masih cukup lama terdiam, sebelum akhirnya ia menggeleng.

Gubrak!!! Emosi saya yang "naik".

"Benar, Anda tak punya keinginan tertentu?" Saya mencari ketegasan.

Ia mengangguk. Lemah.

Ya ampuuun... Dalam hati saya bertanya, bagaimana ia bisa sampai ke ruangan ini?

Kami berempat --saya, dua pewawancara lain dan si calon-- masih mencipta hening. Sampai akhirnya, "kata hati" saya terlontarkan.

"Mas, kalau begitu, Anda datang ke sini untuk apa?" saya bertanya.

Tak ada suara apapun. Hanya desahan dari beratnya tarikan nafas yang terdengar.

Saya bertanya lagi. "Mas, kalau Anda tak punya keinginan untuk posisi ini, bagaimana Anda bisa sampai ke ruangan ini?"

Sempat tak menjawab beberapa detik, dengan sangat lirih ia menjawab, "Ya kemarin disuruh Pak C ke sini, ya saya datang...."

"Disuruh? Lha sebenarnya, Anda tahu nggak, di sini untuk apa?" saya mulai kehilangan kesabaran.

"Untuk test X...," jawabnya lemah.

"Padahal Anda nggak berminat untuk posisi X, dan bahkan nggak punya keinginan untuk berkarir lebih tinggi dari posisi Anda sekarang?" tanya saya cepat.

Dan, si calon pun mengangguk...

Gubrak lagi! Lhadalah, bagaimana bisa ada "calon" seperti ini "diijinkan" masuk ruangan seleksi!? Saya tak habis pikir.

Tak lama kemudian, saya yang menyatakan "walk out" dari ruangan itu, jika wawancara masih mau diteruskan. Bagi saya, jawaban dia adalah sebuah kesimpulan.

Sungguh, saya pusing sekali. Saya kehilangan nalar. Kok ada ya, orang yang seperti ini di perusahaan sebesar itu?

***

Itu kisah nyata.

Ternyata ada, seseorang yang bahkan tak memiliki keinginan tertentu. Jangankan aspirasi atau obsesi, sekedar keinginan pun tak dimilikinya.

Lalu, semangat apa yang mewarnai aktivitas kerjanya sehari-hari selama ini!?

Bagi saya, ia menjadi sangat tidak layak, bahkan untuk posisinya yang sekarang! Tanpa adanya keinginan untuk maju, mungkinkan ia akan memberikan yang terbaik pada job description-nya yang sekarang? Saya yakin tidak.

Ia akan bekerja seadanya. "Tanpa hati". Konsekuensi kerja baik adalah promosi. Dan ketika ternyata ia pun tak ingin memperoleh promosi, tentu yang dikerjakannya adalah sesuatu yang dirasakannya tak akan membuat dia dipromosikan.

Saya cek ke unit kerja asal, dan dugaan saya benar adanya.

Karena saya masih penasaran, saya bertanya kepada atasan langsungnya, tentang "kisah" bagaimana ia bisa sampai ke ruangan wawancara.

Dengan bangganya, sang atasan mengatakan, bahwa membuat si calon mau datang sudah merupakan prestasi tersendiri. Prestasi "besar", menurutnya.

"Meski jelas-jelas ia tak memiliki keinginan?" tanya saya kepada si atasan itu.

"Iya, Pak!" jawab beliau tegas. Masih dalam balutan bangga.

Kebanggaan, yang bagi saya justru sangat absurd. Sangat aneh. Bagi saya, itu bukan sesuatu yang layak dibanggakan, tapi bahkan sebuah kesalahan.

Seorang pemimpin patut berbangga, jika ia mampu mengubah seorang anak buah yang semula tanpa motivasi untuk maju, menjadi seseorang yang penuh gairah kerja dan keinginan untuk berkembang. Bukan sekedar mendorongnya datang untuk sebuah kemubaziran...

Catatan saya : tengok kembali produktivitas si calon, bahkan untuk posisinya yang sekarang. Nah lo....

***

Quote of the day :

"Tragedi sesungguhnya dari orang-orang miskin adalah kemiskinan mereka akan aspirasi," kata Adam Smith.

"Tragedi sesungguhnya dari kita yang memiskinkan adalah kemiskinan kita akan keinginan dan motivasi," kata saya.

Ada qoute tambahan dari Anda sidang pembaca? Saya tunggu.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : http://farm1.static.flickr.com

2 komentar:

itulah yang sedang terjadi di perusahaan "qta" carut marut