Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

OVER, ATAU UNDER VALUE-KAH ANDA?


Kehormatan besar, Jum'at siang lalu saya mendapat undangan makan siang dari Pak Thomas Sugiarto. Masih ingat siapa beliau?

Ya, Pak Thomas adalah motivator dan penulis buku Your Great Success Starts from Now!, yang menurut penulisnya tengah masuk pada edisi ketiga. Luar biasa.

Undangan makan siang di sebuah restoran Jepang di kawasan Thamrin tersebut tentunya tidak saya sia-siakan. Bukan masalah makan atau menu Japanese yang ada, tapi karena satu keyakinan : bakal ada pencerahan yang bisa saya peroleh dari beliau.

Benar juga.

"Pak Budi, Pak Fajar," katanya membuka obrolan. Oya, saya memang sengaja mengajak seorang kawan, Pak Budi Cahaya, karena rasanya sayang kalau "daging" (meminjam istilah Uda Roni untuk menyebut "ilmu yang bermanfaat") yang saya yakini bakal terhidang itu saya makan sendiri. Harus ada orang lain yang turut memperoleh pencerahan.

"Kalau Bapak punya asset --ruko, katakanlah-- senilai 1 milyar rupiah, berapa bisa Bapak dapatkan dari sana? Semisal, dengan disewakan?" lanjut Pak Thomas.

"Minimal 50 juta. Bisa sampai 100 juta per tahun," jawab saya. Saya hanya mengandalkan ilmu kasar bahwa nilai kontrak rata-rata pertahun adalah seperduapuluh sampai sepersepuluh dari nilai asetnya.

"OK," kata beliau. "Kalau di bawah 50 juta, berarti itu under value atau over value?"

"Under value!" jawab saya mantap.

"OK. Kita tetapkan, 50 juta ya?"

Kami mengangguk.

Lalu dia berkisah, "Kemarin di Rumah Sakit Gleneagles, saya bertemu dengan orang kaya yang sedang berobat ginjal. Ginjalnya yang satu tak berfungsi. Pak Fajar atau Pak Budi ada berencana menjual ginjalnya?"

Saya dan Pak Budi terkejut, saling melirik, dan sejurus kemudian, kami menggeleng bersama.

"Dia siap bayar 1 milyar, Pak!" kata Pak Thomas lagi.

Kami tetap menggeleng.

"Dua milyar?" beliau bertanya lagi.

Kami tetap keukeh. Tetap menggeleng.

"Lima milyar, Pak! Itu harga maksimal yang dia sanggupi. Bagaimana?" Pak Thomas terus bertanya.

Dan kami tetap menggeleng.

"Ya udah. Nggak papa. Lalu, Pak, di rumah sakit yang lain saya juga ketemu dengan seorang penderita kanker hati. Ia sedang butuh hati untuk transplantasi. Anda berminat menjual hati Anda?"

Pertanyaan Pak Thomas yang sama mengejutkannya dengan pertanyaan sebelumnya itu, tetap kami jawab dengan gelengan kepala. Tanpa suara.

"Dia juga sanggup membayar 5 milyar, Pak!" lanjutnya.

Kami terus saja menggeleng. Bahkan kali ini saya menyahut, "Berapapun tak akan saya jual, Pak!"

Pak Thomas tersenyum. Sambil mengangkat kedua bahu dan tangannya, beliau berujar. "Berapa sesungguhnya harga kita?"

"Saya baru menyebut dua asset yang ada di tubuh kita, dan nilainya sudah mencapai 10 milyar. Itu pun belum mau Anda lepaskan. Saya belum bicara asset yang lain. Mata? Hidung? Telinga? Jantung? Mau dihargai berapa?" kalimat tanya terus mengalir dari bibir Pak Thomas.

Melihat kami semakin diam, beliau mencoba menyimpulkan apa sesungguhnya yang mau beliau sampaikan.

"Nah, kalau dengan asset yang hanya 1 milyar saja kita berani mentargetkan 'pemasukan' sebesar 50 juta pertahun, berapa target yang bisa kita raih dengan nilai asset yang jauh lebih besar yang ada di tubuh kita ini?"

Masya Allah! Kami tercekat. Jakun di tenggorokan ini seolah sukar digerakkan. Suara desah dari hembusan nafas, justru yang terasa mendominasi suasana.

Tatapan mata Pak Thomas menyapa mata kami berdua.

"Lima puluh juta dari ruko, itulah value yang kita harapkan. Itulah target 'nilai' dari asset ruko kita."

Sejenak diam, menarik nafas, beliau melanjutkan. "Nah, dengan asset tubuh kita yang luar biasa besar nilainya ini, berapa value yang mestinya kita tetapkan? Lantas, berapa hasil atau nilai yang telah kita dapatkan sekarang ini? Sudah memenuhi value, over value, atau masih under value?"

Dua pertanyaan yang "menohok" kesadaran kami, diberondongkan.

Kami diam semakin dalam. Kepala semakin tertunduk, dan seolah terhipnotis (istilah dari Pak Budi), mata kami tak kuasa melawan sorot mata Pak Thomas.

"Gimana? Over value, atau under value?" pertanyaan yang menohok tadi, ditegaskan kembali.

Frekuensi anggukan kepala kami semakin tinggi, sampai akhirnya keluar pengakuan dari mulut kami berdua. "Under value, Pak...," kata kami lirih.

"Tahu yang saya maksudkan?" tanyanya kemudian, setelah hening beberapa saat.

Mengamini anggukan kepala kami berikutnya, Pak Thomas melanjutkan.

"Potensi kita sesungguhnya luar biasa. Sangat besar. Tinggal kita, mau memberdayakan seluruh aset ini, atau cukup puas dengan kondisi yang sekarang ini ada pada kita?" kesimpulan bernada tanya kembali keluar dari bibir Pak Thomas.

Ah, saya semakin merasa "konyol". Seringkali merasa "puas", bahkan merasa "sukses", padahal semua itu masih jauh dari apa yang seharusnya bisa diperoleh. Keyakinan akan potensi itu menjadi sangat nyata terasa, dan menerbitkan optimisme baru secara tiba-tiba.

Ah, saya semakin malu, dan mendadak kehilangan kata-kata. Kehilangan inilah, yang juga membuat saya kehabisan kata untuk mengakhiri postingan ini...


Salam pencerahan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi :http://melbrook.co.uk

0 komentar: