Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

LUPA PADA HARI SOEMPAH PEMOEDA


Kemarin pagi saya terlambat sampai kantor. Waktu tempuh (ukuran di Jakarta tidak bisa lagi menggunakan istilah "jarak tempuh") yang biasanya sekitar 20 menit, molor sampai dengan 1 jam!

Lepas daerah Paseban, saya sudah terperangkap dalam jejalan kendaraan besar dan kecil. Mobil maupun motor. Waktu lebih banyak terisi untuk berhenti daripada berjalan.

Untung, saya selalu menyiapkan "bekal" untuk mengisi kekosongan (dan juga "kekacauan") waktu seperti itu. Bekal saya adalah buku. Bacaan apapun. Walhasil, di tengah bisingnya jeritan protes para klakson, saya dengan khusyuk justru menuntaskan puluhan halaman buku Hati Baru-nya Dahlan Iskan. Bagus banget, kebetulan.

Dengan "kekhusyukan" seperti itu, saya sungguh tak berupaya mencari tahu, kenapa hari itu jalanan sesak bin macet separah itu. Sampai suatu kilometer tertentu, persis di mana terjadi bottle-neck di mana 4 jalur mobil plus satu busway alias jalur Trans Jakarta menyempit menjadi satu jalur mobil dan satu busway, tampaklah sekumpulan orang yang sedang khidmat mengikuti sebuah upacara, dengan barisan yang terpaksa merampas hak pemakai jalan untuk memanfaatkan tiga jalur di sisi kiri jalan Kramat Raya itu.

Deg! Ada apa ini? Demo? Pagi-pagi begini?

Rasanya bukan. Dan "...deg!" lagi. Bukankah hari ini hari Sumpah Pemuda?, tanya saya dalam hati.

Ya ampun! Setan atau makhluk Tuhan mana yang telah mengiris dan membuang sebagian ingatan saya pagi itu, bahwa tanggal 28 Oktober itu merupakan salah satu hari yang pantas diperingati oleh rakyat di negeri ini?

Padahal, beberapa hari sebelumnya saya baca dan dengar berbagai keriuhan menyambut hari bersejarah itu. Bahkan, Senin 27 Oktober itu, saya membeli Majalah Tempo Edisi Khusus yang mengulas topik dan historikal Soempah Pemoeda, lengkap dengan foto jadul Museum Sumpah Pemuda di Jl. Kramat Raya 106 itu! Sebuah gedung, di mana di depannya sedang berlangsung upacara dengan peserta yang meluber ke jalanan itu!

Masya Allah. Kalau saya jarang lewat situ, silakan dimaklum. Tapi, Gedung Museum itu sesungguhnya hanya beberapa ratus meter di sebelah kantor saya yang lama, yang hanya berselisih 32 nomor di deretan nomor genap sisi Barat Jalan Kramat Raya itu! Yang artinya, hampir setiap hari saya lewati dari kedua sisi arahnya. Ya ampun...

Ya Allah, ampuni aku. Bukan aku mau melupakan peristiwa bersejarah yang membuat bangsaku besar dan satu seperti sekarang ini. Sungguh, bukan begitu. Saya mengaku alpa, Tuhan.

Memang, sebagaimana Engkau tahu tentang aku, aku bukanlah orang yang mendewa-dewakan dan mengagung-agungkan seremonia sebuah peringatan, jika di sekelilingnya tak ada aksi nyata sebagai perwujudan semangatnya. Bukan aku orangnya yang hanya suka berformal-ria, tanpa berusaha menggerakkan segala sesuatunya ke dalam nyata.

Tapi harus kukatakan kepada-Mu, Tuhan. Bahwa aku menyesal. Bahwa aku malu, karena telah melupakan salah satu anugerah-Mu, yang Engkau berikan melalui pendahulu-pendahulu terpilih-Mu.

Buat seluruh sahabat, selamat hari Sumpah Pemuda. Terlambat, saya pikir tak mengapa. Toh ingatan tak akan menjadi tak ada guna, jika kita meyakininya.


Salam pemuda! (34 tahun masih muda kan? Hehe...)

Fajar S Pramono



Ilustrasi : www.papua.go.id

2 komentar:

Saya juga sedang membaca "Pelajaran dari Tiongkok" nya Dahlan Iskan, termasuk saat mengikuti acara di Mirama kemarin. ;p

 

Buku itu juga bagus, Mas. Saya sudah membacanya. Buku "Ganti Hati" malah pernah saya beli lebih dari sekali untuk saya berikan kepada saudara, karena kisahnya yang sangat menyentuh dan inspired untuk menguatkan hati. Juga membuat kita semakin bersyukur, sekaligus ingat mati...

Dahlan Iskan memang "pekerja jurnalistik" dengan kemampuan luar biasa!