Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

GAMPANG DIMAAFKAN, GAMPANG BIKIN SALAH


Karena maaf jadi gampang,
jadi gampang bikin salah
( ) Gampang maafin
( ) Gampang bikin salah


Itu bunyi iklan "bukan basa-basi"-nya A Mild.
Kreatif menurut saya.

Tapi, kali ini, bukan kreatifitas itu yang mau dibahas. Tapi tentang isi hasil kreatifitas itu sendiri.

Ya, tentang maaf. Mumpung masih Syawal, mumpung masih suasana lebaran.

Dalam sesi materi Hard to Say I'm Sorry, Mario Teguh menegaskan, bahwa hanya orang yang kuat yang memiliki kemampuan memaafkan. Maka, karena kita harus bisa menjadi orang yang kuat, maafkanlah.

Tapi, bunyi iklan di atas telah mengangkat sebuah persoalan yang menarik. Jika semua orang dengan mudah memaafkan, akan ada sebuah "peluang" bagi para pencipta kesalahan untuk mengulang kembali kesalahan yang sama, sebagaimana opsi kedua dalam pilihan jawaban iklan tersebut.

Salahkah jika ada orang yang memilih opsi kedua itu? Tidak, karena itu adalah pilihan.

Dan karena pilihan yang kendati sah itu tidak baik, maka saya mengajak melihat dari dua sisi.

Sisi pertama, dari pelaku kesalahan. Intinya, jangan karena orang yang akan dengan mudah memaafkan kita, kita akan dengan gampang terus melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan yang sama. Ingat juga, bahwa hapusnya dosa akibat kesalahan ada dua syarat : dimaafkan oleh yang bersangkutan, dan diampuni oleh Tuhan. So, apakah kita bisa menjamin bahwa Tuhan akan mengampuni kesalahan kita, manakala pemberian maaf sudah kita terima dari orang yang kita "salah-i"? Saya rasa, tidak.

Kemudian, mari kita lihat dari sisi kedua, yakni dari sisi orang yang kita "salah-i" tadi. Mario Teguh mengingatkan, bahwa dalam diri orang yang menjadi obyek kesalahan kita, tidak hanya hak untuk memaafkan yang ia miliki. Ia juga memiliki hak untuk menghukum. Ini yang perlu kita camkan benar-benar.

Jika seseorang memaafkan kita, maka itu berarti ia telah menyingkirkan haknya untuk menghukum. Ia telah dengan sukarela tidak menggunakan haknya. Dan bahkan, orang yang memaafkan sesungguhnya telah menghilangkan haknya sendiri untuk "melukai" orang yang telah bersalah kepadanya.

Itu tentu sebuah pengorbanan yang luar biasa darinya. Karena itu pulalah, sekali lagi, hanya orang yang kuat dan benar-benar besar hati yang bisa melakukannya.

Namun demikian, semua bentuk kesabaran ada batasnya. Bersyukurlah kita, jika orang yang menjadi obyek kesalahan kita memiliki range kesabaran yang luas. Jika tidak, maka ia akan lebih cepat menggunakan haknya untuk menghukum, "melukai", atau bahkan tidak memaafkan kita lagi. So, ketika dua syarat pemaafan pihak lain serta pengampunan dari Tuhan tidak kita peroleh, itu adalah dosa yang "dibawa mati". Na'udzubillahi min dzalik.

So, apa yang musti kita lakukan? Tentu saja, minimalisir kesalahan, selalu berbesar hati untuk meminta maaf sekaligus memaafkan, dan memohon ampun kepada Tuhan. Tak ada yang lain menurut saya.

Menurut Anda?


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : img165.imageshack.us

4 komentar:

Menurut bukunya Gus Mus "Membuka Pintu Langit" (agak lupa judul bukunya Mas, tp jelas terekam di benakku):InsyaAllah qta bisa menjamin untuk dimaafkan oleh Allah SWT setelah persetujuan maaf dari sesama diterima, karena keyakinan qta untuk dimaafkan/diampuni oleh Allah itulah yang dapat dijadikan modal kepastian (InsyaAllah)dimaafin oleh Allah, kalo qta sendiri gak yakin atas permintaan - permintaan qta kepada Allah bakalan di"approve" oleh Nya, ngapain qta capek2 minta Mas! tapi semua tau dech Wallahuallam.........

 

Ya, Mas Nanang benar. Itu janji Allah. Sepanjang kesalahan itu terhindar dari masalah syirik, maka Allah berjanji untuk mengampuni.

Hanya masalahnya, bisa jadi secara tak sadar ada suatu kesalahan yang secara langsung ataupun tidak melibatkan atau mengandung "kadar kesyirikan", seberapapun kecilnya.

Itu yang kita takutkan, Mas. Tapi, kembali kepada kewenangan, itu adalah hak prerogatif Tuhan. Tugas kita adalah memohon ampun senantiasa. Selebihnya, sepakat dengan Mas Nanang, Wallahu a'lam bishowab.

Kesimpulannya, sekali lagi : segera meminta maaf pada semua pihak yang mungkin kita pernah salah-i, mohon ampun pada Allah, dan bertekad tidak mengulangi.

Setuju? :)

 

Mas Fajar, masih di bulan Syawal...saya dan tim wartapena Mengucapkan taqoballahu minna wa minkum, mohon maaf lahir bathin.

Terima kasih atas komentarnya, trus soal rencana buku kita yg sempat kita omongan ternyata dah keduluan ama orang Jogja mas dan udah beredar di Gramedia, makanya kita lg muter strategi yg laen. Nanti kl dah mateng kita kabari lagi ya...

Sekali lagi mohon maaf lahir bathin ya.

 

Halo, Mas Rudi.

Mohon maaf lahir batin juga. Tentang buku, pasti ada "rejeki" yang lain buat kita. :) Masih banyak angle lain yang pastinya bisa Mas Rudi dan tim Wartapena garap. Insya Allah justru lebih baik dari rencana sebelumnya. Saya yakin itu.

OK deh, selamat berkarya, salam buat teman2 di Wartapena.