Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

MAKHLUK WAJIB


Insya Allah, akhir bulan ini saya pindah unit kerja. Setiap kepindahan unit kerja, pasti meninggalkan pikiran. Apakah "kepergian" saya merupakan "kesedihan" bagi orang yang akan "ditinggalkan", atau justru ternyata "kepergian" itu adalah kebahagiaan dan bahkan "kemenangan" bagi orang-orang yang akan "ditinggalkan"?

Sebaliknya, apakah kehadiran di sebuah unit kerja baru akan menjadi sesuatu yang "membahagiakan" bagi "orang-orang lama" di unit kerja baru itu, atau justru saya adalah "malapetaka" yang menyedihkan bagi mereka?

Itu beban. Logikanya sederhana. Intinya : saya itu menyenangkan bagi orang lain, atau tidak; selama ini, saya itu bermanfaat bagi orang lain, atau tidak; saya itu, "bermakna" bagi orang lain, atau tidak.

Berpikir tentang hal seperti itu, saya jadi ingat Emha. Ya, Emha siapa lagi kalau bukan Emha Ainun Nadjib, Sang Kyai yang seringkali "menempeleng" kesadaran saya manakala saya membaca tulisan-tulisannya. Yang dulu --sewaktu kuliah dan punya banyak waktu "bebas"--, saya sering nguntit beliau kesana-kemari antar kota hanya untuk mendengarkan omongan langsung yang keluar dari bibir beliau. Bukan pengikut. Hanya pengagum. Bukan jamaahnya. Hanya penggemarnya.

Emha pernah bicara soal keberadaan manusia terhadap manusia lainnya. Tentang kemanfaatan seseorang atas seseorang dan sekelompok orang lainnya. Bahkan makhluk lainnya.

Dalam pandangan budaya dan agamanya yang seringkali seolah melampaui batas maksimal penalaran dan tafsir pikiran orang lain --pemikir kritis kondang sekalipun--, ia pernah menyebut beberapa kriteria mahkluk manusia.

Ada orang halal, ada orang haram. Ada juga pengkualifikasian manusia sebagai makhluk wajib, makhluk sunnat, bahkan mahkluk makruh! Itu yang diceritakan Emha, yang sebenarnya adalah kata-kata Kiai Sudrun; "guru spiritual" yang hanya hidup dalam benak dan jalan sunyi Emha.

Seperti apa kualifikasi-kualifikasi tersebut?

Orang halal, adalah orang yang boleh ada dan boleh tidak ada. Orang halal adalah orang yang kalau dia ada, alam dan lingkungan manusia tidak mendapatkan keuntungan atau kemaslahatan apa-apa, tetapi kalau dia tidak ada, alam dan lingkungan juga tidak rugi apa-apa.

Orang haram? Orang haram, adalah manusia yang kalau dia ada maka lingkungan akan sangat dirugikan, sehingga kalau dia tidak ada lingkungan justru akan mendapat keuntungan.

Nah. Ternyata, dalam kriteria Kiai Sudrun, tak cukup menjadi orang halal. Ia belum masuk dalam kriteria "bermanfaat" bagi sesama.

Lantas, musti jadi apa kita?

Jawabnya : jadilah makhluk wajib.

Apa itu, makhluk wajib?

Makhluk wajib adalah makhluk yang harus ada karena tingginya kadar kemanfaatannya bagi sesama makhluk. Kalau ia tidak ada, semua rugi.

Sementara makhluk sunnat itu kalau bisa hendaknya ada, tapi kalau terpaksanya tidak bisa ada ya tidak apa-apa. Sebaliknya, makhluk makruh itu, mari kita upayakan sebisa-bisa jangan sampai ada, meskipun kalau terpaksanya ada ya apa boleh buat.

***

Saya sendiri, pastinya ingin jadi makhluk wajib. Kalaupun keinginan ini dianggap "terlalu sempurna", ya setidaknya bisa jadi makhluk sunnat. Karena di dalam dua kriteria itu, ada fungsi dan peran kemanfaatan bagi pihak lain.

Yang pasti, saya sama sekali tidak mau jadi makhluk makruh. Atau juga manusia haram. Masih mending (ini pilihan skeptis) jadi makhluk halal. Meskipun tidak memberi keuntungan apapun, setidaknya tidak merugikan pihak lain.

Tapi sekali lagi, saya ingin bisa jadi makhluk wajib.

Dan keinginan menjadi makhluk wajib inipun, tak terbatas hanya karena saya harus keluar masuk sebuah "kerumunan" baru. Sebuah kumpulan orang-orang baru.

Kita harus bisa menjadi makhluk wajib di dalam keberadaan kita yang seperti apapun saat ini. Di keluarga, di kampung, di dunia kerja, di gelanggang bisnis, di mana saja. Terhadap rekan kerja, terhadap teman bisnis, terhadap saudara, terhadap tetangga, terhadap siapa saja. Terhadap manusia, terhadap binatang, terhadap tumbuhan, dan bahkan terhadap makhluk tak hidup di sekeliling kita.

Dalam dinamika kehidupan yang berpindah-pindah secara teratur, dalam rutinitas hidup yang menetap, juga dalam ke-nomaden-an yang tak terprediksi.

Dalam kondisi sehat, maupun dalam kondisi kurang sehat. Dalam kondisi diuji dengan kekurangan, maupun diuji dengan kelimpahan. Baik dianugerahi ketampanan, maupun dianugerahi kekurangtampanan.

Dalam segala bentuk dan kondisi, mari berlomba dalam kemanfaatan. Mari berlomba menjadi mahluk wajib. Dan untuk memulainya, tak perlu menunggu. Saat ini juga. Sekarang juga.


Salam perenungan,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.homeydaycare.net

0 komentar: