Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

DARI HATI


Segala sesuatu yang kita lakukan, apapun itu, sungguh-sungguh sangat nikmat dan alami jika dilakukan berdasarkan hati nurani.

Nikmat, karena tak akan ada perasaan terpaksa. Tak ada keharusan yang mengekang. Ikhlas.

Alami, karena segala output atau keluaran dari proses kerja itu merupakan sesuatu yang alami, tidak dibuat-buat, sehingga membuat nyaman diri kita, sekaligus menciptakan kenyamanan pada obyek tindakan kita.

Sebagai contoh, dua orang teman saya yang penulis, dan kini adalah wartawan. Saya tak akan menyebut nama, bahkan juga inisial. Maaf.

Basic mereka adalah penulis. Menulis dari hati, dan untuk kepuasan hati. Kalaupun ada pendapatan honor dari tulisan mereka yang dikirim ke media massa, itu adalah salah satu efek yang membahagiakan. :)

Saat ini mereka menjadi wartawan. Namun, dalam beberapa kesempatan, mereka mengeluh, karena mereka harus menulis "tanpa hati". Menulis karena kejaran deadline. Menulis karena tuntutan tema pilihan rapat redaksi.

Dan dengan deraan kesibukan yang bertimbun, maka "warna" tulisan mereka yang mereka hasilkan sebagai konsekuensi "kewartawanan"-nya menjadi sangat berbeda dengan "warna asli" tulisan mereka. Lebih kering, kaku, bahkan seringkali kehilangan "roh". Hanya sekedar informatif, tapi seringkali tidak "menyentuh" rasa pembacanya. Apalagi jika yang mereka tulis adalah paparan teori yang terpaksa mereka ambil dari literatur-literatur nan kaku-kaku itu juga.

Saya merasakan kekakuan karya mereka, karena saya memang mengenal mereka, sebalum jadi wartawan. Tulisan juga memiliki karakter masing-masing, sebagaimana setiap penulis memiliki karakter dirinya masing-masing.

Tak sekali saya tanyakan dan diskusikan kepada mereka, dan semuanya berakhir pada kesimpulan : tak jarang mereka memang harus menulis tanpa hati. Demi pekerjaan.

Syukurlah, kesadaran itu ada. Kalau tidak, pasti akan lebih parah keadaannya, di mana mereka sangat mungkin akan "kehilangan karakter" mereka yang asli. Hanya sayangnya, saat ini mereka mengaku cukup kesulitan mempertahankan karakter asli, karena deretan pekerjaan yang menyita waktu-waktu pribadi mereka. Otomatis, waktu untuk "berkarakter asli" menjadi sangat minimal.

***


Anda pasti pernah masuk ke sebuah restoran fastfood, atau juga institusi pelayanan publik, di mana seluruh pembukaan pelayanan para frontliner-nya menggunakan sebuah layanan standar.

"Selamat pagi, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" sambut mereka. Tersenyum. Berdiri tegak. Sopan.

Atau, "Selamat datang di Restoran XXX. Bagaimana kabar hari ini? Silakan Anda memesan menu kesukaan Anda, sekaligus menu-menu kabanggaan kami. Bla bla bla, bla bla bla." Suara sangat lantang. Baku. Senyum pun terkembang. Standar.

Tapi, Anda pasti bisa membedakan. Mana ungkapan yang keluar dari hati, mana ungkapan yang hanya sekedar keluar karena tuntutan standaritas.

Kata-kata dalam kalimat boleh standar. Tapi, dasar kemauan untuk mengungkapkan akan membedakan kualitas suara dan nuansa yang keluar dari mulut mereka.

Yang dari hati, sangat nyaman untuk didengar. Senyumnya pun sangat enak untuk dilihat. Lepas dari cantik ganteng atau tidaknya si frontliner.

Sementara yang sekedar "pemenuhan kewajiban" standaritas tadi, akan terdengar sangat robotis. Layaknya mesin penjawab. Laksana kaset bajakan yang diputar ulang.

Anda tidak percaya? Cobalah sendiri. Rekam suara Anda. Intonasi, atau bahkan "nada dasar"-nya pun akan berbeda! Kalau perlu, bercerminlah. Bahasa tubuh Anda pun akan membuktikan perbedaan itu. Percayalah.

***


Keikhlasan dan peran hati sebagai dasar perbuatan, akan sangat berpengaruh pada hasil kerja kita.

Dan mana yang tentunya lebih bagus : hasil karya dan hasil kerja yang berasal dari keikhlasan hati, atau hasil karya dan hasil kerja yang sekedar berlandaskan kewajiban dalam aturan dan SOP kerja?

Saya adalah salah satu yang menjawab lantang : "Dari hati!"

So, saya ajak Anda untuk membuktikan. Dan jika Anda merasakan hal yang sama dengan saya, mari terus kkta kampanyekan : MARI BERTINDAK DENGAN HATI, MARI BERLAKU BERLANDASKAN HATI.

Dan sebagaimana ending Mario Teguh dalam berbagai talkshow-nya : "Lakukan mulai detik ini, dan saksikan, apa yang terjadi...."


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi :
1/ http://www.thesykesgrp.com
2/ http://i17.photobucket.com
3/ http://www.kapanlagi.com

0 komentar: