Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

MENGAKTIFKAN DIRI


Studio Metro TV, Minggu 31 Agustus 2008.

"Mas Wahyu aktif di MTSC?" tanya saya kepada kawan sebelah kursi, sebelum taping Mario Teguh Golden Ways dimulai.

Mas Wahyu --lengkapnya Wahyu Hidayat-- adalah orang yang "memfasilitasi" saya hingga berkesempatan mengikuti acara tersebut. MTSC sendiri merupakan kependekan dari Mario Teguh Super Club. Sebuah wadah para Super Member (SM) yang konon kabarnya hari ini sudah memiliki anggota lebih dari 600 orang, dan masih terus bertumbuh.

Mas Wahyu tersenyum. Memandang saya, sambil berkata, "Mengaktifkan diri, Mas." Nada bicaranya menunjukkan kerendahan hatinya.

Saya tercengang sejenak, sampai Mas Wahyu melanjutkan, "Kalau kita ingin seperti beliau (Mario Teguh --red), ini adalah salah satu cara 'mendekat' dan belajar langsung dengan beliau."

Ia melanjutkan, bahwa jika kita bisa "dekat" dan dipercaya, maka siapapun tak akan segan berbagi ilmu kepada kita.

Saya masih tercekat.

***

Saya suka jawaban Mas Wahyu tentang "mengaktifkan diri". Bukan sekedar "aktif".

Adakah Anda merasakan sesuatu yang berbeda dari jawaban Mas Wahyu?

***

Lantas, saya membuat beberapa analog. Hanya dalam pikiran saya sendiri.

"Dalam sebuah peristiwa positif, kita bisa saja terlibat. Tapi, melibatkan diri?"

Wow!

"Kita bisa saja aktif di sebuah proyek atau pekerjaan menuju sebuah target, karena memang itulah tugas kita. Sebagai anggota panitia sebuah kegiatan, misalnya. Tapi, mengaktifkan diri?"

Kita bisa pantas menjadi "seseorang" karena kondisi eksternal kita memang telah memungkinkannya. Semisal, kita menjadi "sesepuh" kampung, karena memang tak ada lagi yang lebih muda dari kita.

Tapi, "memantaskan diri" untuk bisa disebut sebagai seorang "sesepuh", pimpinan atau sosok panutan karena kebaikan serta kebijaksanaan pikir dan tindakan kita, kendati kita relatif masih muda dibanding yang lain?

Pasti luar biasa.

***

Saya merasa, ada sesuatu yang "lebih" dari jawaban Mas Wahyu.

Aktif dalam sebuah klub, sebuah komunitas, bisa saja terjadi karena dorongan berbagai faktor. Bisa faktor eksternal diri (keadaan yang "memaksa"), bisa juga faktor internal (diri kita sendiri).

Mengaktifkan diri, melibatkan diri, memantaskan diri, adalah bentuk dorongan internal. Motivasi dari dalam. Kemauan. Kesediaan, yang semua itu didasarkan pada kesadaran bahwa kita yang membutuhkannya. Bukan semata keadaan yang membutuhkan kita.

Dan bicara tentang motivasi --saya yakin kita punya pendapat yang sama--, motivasi internal dirilah yang jauh lebih permanen. Lebih "kekal" dan stabil. Karena permanently dan stabilitas itu pulalah, motivasi internal seringkali menjadi lebih kuat pengaruhnya dibanding motivasi eksternal yang seringkali naik turun, bahkan kadang antara ada dan tiada. Dan jika motivasi kita sangat kuat, maka hasil yang didapat, Insya Allah, akan jauh lebih baik.

***

Jawaban pendek Mas Wahyu atas pertanyaan saya, menunjukkan sebuah kualitas pribadi seseorang.

Saya rasa, hari ini saya mendapat pembelajaran lebih dari Mas Wahyu. Sepele tampaknya, tapi sangat berharga bagi saya.

Mas Wahyu, terima kasih pembelajarannya, terima kasih kesempatannya.


Salam,

Fajar S Pramono


Ilustrasi : www.datakarir.com

0 komentar: