Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

"KORBAN-KORBAN" AGUSTUSAN


Minggu pagi, kita obrolin yang santai yach?

Cerita tentang "korban-korban" Agustusan. Korban itu termasuk saya. Eh, terbalik : saya itu termasuk korban. Eh, yang bener yang mana sih? Hehe...

Intinya, kaki saya sekarang sakit sekali. Setelah dua kali hampir kram tapi "selamat dan sukses", pada akhirnya kaki kanan saya harus menerima "anugerah" yang lebih parah : urat paha yang tertarik. Tertarik yang urat paha. Halah! :)

Saya hanya salah satu dari sekian bapak-bapak di kompleks perumahan yang menjadi "korban" semangat Agustusan. Ada Pak H yang juga mendapat "anugerah" yang sama. Ada pak R yang ikut futsal sekali Sabtu pagi, main 2 x 10 menit alias 20 menit, tapi harus beristirahat total selama 2 hari! Itupun karena hari ketiga-nya musti ngantor. Senin. Ada juga Pak A, yang sekali ikut voli Sabtu sore minggu lalu, hingga Sabtu kemarin sore alias seminggu kemudian masih harus mengenakan tambahan asesoris berupa decker yang dililitkan di lututnya.

Jalan menjadi "pincang". Duduk menjadi tidak nyaman. Tasyahud akhir dalam sholat pun tak bisa dilakukan dengan sempurna.

Jadwal pertandingan yang begitu padat, merupakan salah satu penyebabnya. Minggu lalu saya cerita tentang pagi yang futsal, sore yang voli dan malam yang badminton, bukan?

Itulah. Jadwal bagi kami sebenarnya tak menjadi masalah, karena kami sangat sadar bahwa kami memang hanya longgar waktu di hari Sabtu dan Minggu.

Yang menjadi masalah adalah, semangat mengikuti pertandingan demi pertandingan tadi tidak diimbangi dengan kondisi fisik yang memadai akibat ketakbiasaan dan ketidakrutinan kami berolahraga. Sebagian besar begitu.

Sebagian lagi --termasuk saya-- sebenarnya cukup rutin berolah raga, minimal seminggu sekali. Ada yang rutin golf, ada yang rutin tenis, ada yang rutin bulutangkis, ada yang rutin jogging, dan ada yang rutin bermain catur. Eh, yang terakhir tak termasuk latihan fisik ya? Hihihi...

Masalah berikutnya adalah, karena kami merupakan atlet "debutan" yang menganut pola dadakan --sebagian lagi bahkan merupakan pemain panggilan, yang mau main hanya ketika ditelpon paksa dari lapangan--, maka kami secara sadar dan tidak sadar melupakan yang namanya pemanasan. Warming up.

So, ketika baru beberapa menit main, nafas ngos-ngosan, urat-urat dan otot-otot padha "kaget"! Walhasil, ada yang mau kram, dan yang paling banyak seperti saya : ketarik otot-nya.

Masalah berikutnya, karena "kemaruk" (baca : semangat) untuk ikut semua pertandingan, tenaga yang ada di tubuh ini menjadi terforsir. Over effort. So, kecapekan menjadi konsekuensinya.

Yach, bagaimanapun, harus ada hikmah yang bisa diambil.

Pertama, jelas, untuk apapun, kita perlu persiapan. Untuk olahraga, kita perlu pemanasan. Untuk bekerja, kita perlu persiapan. Untuk berbisnis, kita perlu perencanaan.

Bahkan, dalam bekerja atau berbisnis, pemanasan bisa bersifat lebih komprehensif, misalnya dengan on the job training ataupun magang, agar ketika benar-benar bekerja dan berbisnis, kita benar-benar sudah "matang". Tak ada kecanggungan, tak ada keterkejutan yang bisa saja menghambat akselerasi kerja atau bisnis tadi.

Kedua, untuk hal-hal baik, rutinitas diperlukan. Jika kita pekerjaan, kerjakan dalam jadwal yang tertata baik. Evaluasi secara periodik. Jika kita punya usaha, lakukan pembinaan SDM, monitoring kualitas kerja dan hasil kinerja secara berkala.

Jika tidak begitu, maka akan timbul kesulitan manakala kita akan melihat seperti apa sesungguhnya pola harian dalam menghasilkan kinerja. Tren pencapaian target. Baik pekerjaan kantor maupun hasil usaha. Jangan-jangan kita bahkan tidak tahu, apakah pekerjaan kita mendekati target, atau menjauhi target. Apakah usaha kita mendulang keuntungan, atau bahkan mencipta kerugian? Divisi-divisi usaha kita, apakah semuanya sudah menjadi profit center atau justru menjadi cost center? Tragis.

Ketiga, apapun itu, terlalu memforsir (over effort) seringkali kontraproduktif bagi harapan kita. Pekerjaan yang terlalu banyak dalam satu waktu sangat mungkin menghasilkan kualitas kerja yang rendah. Apalagi sudah menjadi salah satu "hukum universal", jika kecepatan kerja berbanding terbalik dengan kecermatan kerja.

Fokus bisnis yang terlalu banyak, justru tak jarang mengakibatkan tidak ada satu bisnis pun yang beroleh hasil maksimal. Semuanya "sedang-sedang" saja. Padahal, jika kita mau melakukannya secara bertahap, beralih fokus manakala bisnis yang satu benar-benar sudah "aman" dan optimal, bukan tidak mungkin semua bisnis yang kita jalani akan berbuah manis.

Tapi begitulah. Kita seringkali terlalu semangat, terlalu banyak keinginan, sehingga malah tak satupun yang mencapai tujuan. Justru "kesakitan" yang didapatkan.

Oya, semangat, obsesi, ambisi itu bagus. Tapi, sebagaimana Rasulullah katakan, hampir semua yang "terlalu" itu bisa berubah menjadi kurang baik. Terlalu semangat, seringkali menjadikan kita lupa pada "pagar-pagar" yang harusnya kita taati.

Memiliki obsesi dan ambisi adalah bagus, tapi obsesif dan ambisius belum tentu baik. Ia memungkinkan kita menempuh segala cara --termasuk yang "haram" sekalipun-- untuk mewujudkan obsesi dan ambisi itu dalam kenyataan.

Menurut saya begitu. Menurut Anda?


Salam pencerahan,

Fajar S Pramono


Foto : http://justcutts.com

0 komentar: