Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

HOARDING SYNDROME


1//
Apakah Anda termasuk orang yang selalu merasa "sayang" untuk membuang barang-barang di rumah, yang menurut Anda masih saja akan bisa berguna di masa mendatang?

Ataukah Anda --setidaknya pernah-- menumpuk barang-barang yang --bagi orang lain-- sudah saatnya dibuang ke tempat sampah?

Saya ada bakat di situ. Saya gemar "menumpuk" majalah, koran atau apapun media cetak yang menurut saya memuat berbagai hal penting, yang bisa saja akan bermanfaat bagi saya di suatu ketika. Entah kapan "suatu ketika" itu.

Ini terjadi sejak saya mulai menulis untuk media massa jaman kuliah dulu, dan berlanjut ketika sudah berumah tangga.

Dulu, ketika masih belum banyak "urusan keluarga", saya masih sempat menyeleksi artikel yang mungkin penting, memotongnya, mengumpulkannya ke dalam masing-masing kategori, dan kemudian menyimpannya sebagai kliping.

Namun, seiring banyaknya urusan yang menyita waktu, kegiatan itu tak sempat lagi dilaksanakan. Akhirnya, koran-koran atau surat kabar itu saya tumpuk, tanpa seleksi, dan yang pasti : saya larang untuk dibuang!

Hasilnya, tumpukan koran dan majalah itu bermeter-meter kalau ditumpuk jadi satu ke atas. Atap rumah, lewat!

Pernah saudara membuang sebagian dari "koleksi berharga" saya itu. Pasti Anda tahu hasilnya : saya marah besar!

Semakin ke sini, seiring dengan semakin sedikitnya kegiatan menulis saya akibat kesibukan yang lain, juga karena mulai adanya spesifikasi kepenulisan (dulu saya banyak menulis tentang sosial politik, sehingga hampir 40% isi koran menjadi "berharga" sebagai data sumber), tumpukan itu berkurang. Saya mulai sadar, lebih banyak "harta" yang tidak digunakan daripada yang dimanfaatkan. Apalagi, semakin masuk kepada era internetisasi, semakin mudah mencari data sumber dari media bernama internet ini.

2//
Pagi ini, saya membaca sebuah artikel di Reader's Digest Indonesia (RDI). Edisi Juli 2008. Saya cukup tersentak, ketika menemukan sebuah tulisan : Hoarding Syndrome; Serbuan Barang-Barang yang Tak Mau Hilang.

Ternyata, saya berbakat memiliki sindrom untuk mengumpulkan barang. Tak sekadar itu, sifat hoarding yang dimiliki penderita sindrom tersebut adalah kompulsif. Tak lagi eksentrik. Artinya, sudah sukar dikontrol.

Lhadalah! Yang lebih tidak saya sangka lagi, adalah efeknya. Sebagai salah satu clinical obsessive-compulsive disorder, ia menjelma ke dalam masalah neuropsychiatric, yang tidak bisa sembuh jika tidak dirawat.

Diceritakan tentang kasus tragis Collyer bersaudara. Mereka kaya, tapi tertutup. Tahun 1974, tubuh mereka ditemukan di kediaman mereka yang berisi tak kurang dari 100 ton barang tak berguna.

Seorang warga Shelton, ditemukan tertimbun tumpukan pakaian yang dikumpulkannya sendiri. Yang menarik sekaligus mengenaskan, adalah case yang terjadi di keluarga Eugenia Lester. Hubungan Eugenia dan anak-anaknya sempat putus gara-gara anak-anaknya memutuskan untuk membersihkan rumah ibunya yang sangat penuh barang tak berguna, yang sampai-sampai membuat Eugenia sendiri harus tidur di kebun belakang, dipetisi akan diusir oleh warga sekitar, dan bolak-balik dipanggil pengadilan.

Gara-gara "pembersihan" yang dilakukan oleh anak-anaknya, Eugenia mengalami depresi dan akhirnya mencoba bunuh diri.

Memang, tentang kegiatan "mengumpulkan barang" ini, ada aspek fundamental yang membuat seseorang tergolong seorang pengidap hoarding syndrome atau tidak. Yakni, pandangan tentang "kegunaan" dan "kecantikan" sebuah barang. Para penderita sindrom hoarding tersebut menganggap, diri mereka hanya berusaha menyimpan segala sesuatu yang masih "cantik" dan masih "berguna". Namun, pandangan mereka tentang "cantik" dan "berguna" itu sangat berbeda dengan kebanyakan orang.

Saya menyimpulkan, ini memang subyektif. Jika demikian, seorang kolektor (baik kolektor seni, budaya, barang langka, barang "aneh", barang hobi)juga bisa dianggap (atau setidaknya berbakat) menjadi penderita hoarding syndrome.

Wah, cukup mengerikan juga ya....

3//
Saya mencoba mengikat "makna" : apapun itu, jika berlebihan, memang selalu tidak baik. Terlalu "eman" (baca : sayang) atas keberadaan suatu barang yang sebenarnya sudah tidak berguna lagi, tidak baik. Terlalu "royal" dan gemar "membuang" barang yang sebenarnya masih bermanfaat, rasanya juga tidak baik.

Intinya, yang sedang-sedang saja....

4//
Kemudian, saya iseng menganalogikan dengan kita-kita yang gemar "mengumpulkan" ilmu, teori dan sejenisnya, tapi tak pernah mengaplikasikannya. Gemar ikut seminar motivasi, seminar bisnis, dan sebagainya, tapi tak pernah mempraktekkannya. Suka menimbun harta, tapi tidak memanfaatkannya dengan baik bagi kepentingan agama, keluarga dan sesama.

Bejibun sertifikat seminar, bejibun tanda keanggotaan suatu forum/komunitas/kelompok, bertumpuk bersama ratusan atau bahkan ribuan literatur buku/majalah/koran/modul, bisa jadi "sampah" jika semua itu tak dimanfaatkan.
Tak ada bedanya dengan penderita hoarding syndrome.

Jauh lebih baik, sedikit ilmu tapi dipraktekkan, sedikit harta tapi "dikaryakan" dan "dipahalakan", sedikit literatur tapi dimengerti dan diaplikasikan.

Memang, yang lebih baik lagi, banyak ilmu dan banyak praktek, banyak harta dan banyak amal, banyak literatur dan banyak aplikasi.

5//
Pagi ini saya merenung, apakah saya mau jadi sekedar penderita hoarding syndrome, baik untuk barang yang berbentuk fisik maupun "barang" yang berbentuk ilmu pengetahuan?

Bismillah, Insya Allah saya terjauhkan dari sindrom yang hanya "mengumpulkan" barang dan ilmu, serta termasuk dalam kumpulan orang-orang yang pandai memanfaatkan dan mengaplikasikan barang serta ilmu tadi. Amien...


Salam pencerahan,

Fajar S Pramono

0 komentar: