Banker on Writing

Ketika menulis adalah kebutuhan : katarsis, belajar dan berbagi

BUDAK MODERN, BUDAK TRADISIONAL , TETEP SAJA BUDAK!


(1)
Dunia bola lagi rame. Ada banyak "seniman bola" yang kini sedang terbelenggu jiwanya akibat kontrak yang ditandatanganinya sendiri.

Sebenarnya, kejadian seperti ini bukan barang baru. Hanya karena salah empatnya yang saat ini "menderita" adalah Cristiano Ronaldo, Didier Drogba, Frank Lampard dan Emmanuel Adebayor yang sangat kesohor, maka beritanya menjadi besar.

Ditambah lagi komentar Sepp Blatter, Presiden FIFA yang memang seringkali membuat pernyataan kontroversial.

Kali ini, Blatter memunculkan istilah "perbudakan modern", untuk merespon posisi CR-7 --julukan Cristiano Ronaldo-- yang tengah menjadi tarik ulur antara Manchester United dan Real Madrid. Menurutnya, CR-7 tengah diperbudak oleh MU karena impiannya memperkuat Madrid tidak dipenuhi. Setidaknya, dipersulit.

Saya rasa, MU juga tidak sepenuhnya salah. Karena, tak ada pula yang memaksa CR-7 ketika dirinya bersedia menandatangani kontrak selama lima musim dengan MU.

Blatter menggunakan tambahan istilah "modern" di belakang kata "budak", karena diakuinya, sang "budak" tidak hidup dalam kesengsaraan fisik, karena kemewahan demi kemewahan memang menjadi keseharian sang "budak".

Namun, ketiadaan kebebasan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan itulah, yang membuat seseorang layak disebut sebagai "budak". Demikian juga yang ditulis oleh Frederick Douglass, tokoh gerakan antiperbudakan di Amerika sono, dalam sebuah bukunya.

(2)
Jika definisi Douglass yang kita gunakan, maka saya yakin, kita semua pernah menjadi budak!

Mohon maaf, karena semakin tidak spesifik sebuah definisi, semakin banyak entitas yang bisa terjerat jaring definisi itu.

Ya, siapa pun. Orang kantoran, terlebih lagi yang bekerja tanpa passion, sekadar mencari uang, paling sering dicap sebagai "budak". Ia bekerja karena "terpaksa".

Tapi, siapa bilang para pengusaha, para artis, para atlet profesional bisa luput dari jerat "perbudakan"?

Masih mengacu pada definisi Douglass, maka para pengusaha pun bisa diperbudak oleh waktu, diperbudak oleh obsesi, diperbudak oleh target yang dicanangkannya sendiri.

Para artis, diperbudak oleh jam tayang, diperbudak oleh skenario, diperbudak oleh para pencari berita.

Para atlet profesional diperbudak oleh kemauan pelatih, diperbudak oleh keterikatan aturan, diperbudak oleh keinginan penggemar fanatiknya.

(3)
Jika seperti itu, kita semua merasa menjadi budak. Hanya kadar "perbudakan"-nya yang berbeda-beda.

Bagaimana halnya dengan passion, yang juga sering saya gembar-gemborkan untuk mendapat pemenuhan?

Passion, memang seolah berkebalikan dengan perbudakan. Kebebasan, memang selalu berlawanan kutub dengan pemaksaan.

Semakin besar passion, semakin kecil taste budak-nya. Semakin merasa bebas, semakin tipis rasa keterpaksaannya.

(4)
Saya bingung. Saya ngayawara. Saya ngompyang pagi ini.
Nggak jelas apa yang mau disampaikan dalam posting ini.

Yang pasti, saya kurang setuju istilah "budak" dan turunannya itu. Entah itu perbudakan, pembudakan, budakisme, terbudakkan, dan sebagainya.

Saya lebih suka menyebut "keterpaksaan" sebagai sebuah konsekuensi logis. Kita ingin dihormati, maka kita harus mau menghormati. Kita ingin maju, maka kita harus mau bekerja keras. Mau promosi di kantor, harus mau bekerja lebih kompeten. Mungkin ekstra waktu. Mungkin ekstra capek.

CR-7, setidaksuka seperti apapun, tidak boleh menyebut dirinya sebagai budak, hanya lantaran ia belum boleh hengkang dari MU. Ada konsekuensi yang timbul ketika dia menandatangani kontrak awalnya dengan MU. Drogba, Lampard dan Adebayor juga begitu.

Silakan berubah pikiran. Silakan "berimprovisasi" dalam perjalanan. Tapi, lakukan dengan elegan.

Mau usaha berkembang, harus rajin "belajar" kepada orang lain. Butuh tambahan "modal" alias "investasi" untuk itu. Pergi seminar, ikut komunitas, kursus, studi banding, dan sebagainya. Ada konsekuensi biaya tambahan. Ada konsekuensi pengaturan waktu yang lebih mengikat.

Apakah lantas dengan semua "pengorbanan" itu, kita layak mendapat predikat sebagai "budak"?

Ah, terlampau berlebihan rasanya.

(5)
Saya makin bingung. Saya makin ngompyang.

Kalau mereka tetap keukeuh menyebut konsekuensi sebagai bentuk lain "perbudakan", lantas disebut seperti apakah saya yang bekerja pagi sampai dengan malam lima hari dalam seminggu dan bahkan seringkali masih membawa pekerjaan di akhir minggu?

Seperti apakah Mas Min tukang becak di Yogya yang setiap hari harus mengayuh becak dan bahkan harus tidur di atas becak setiap malam selama dua minggu sebelum menyerahkan hasil kerjanya kepada istri di kampung?

Apakah saya sedang diperbudak oleh kantor? Apakah Mas Min sedang diperbudak oleh anak istrinya?

Rasanya tidak. Itu konsekuensi.

(6)
Jika semua disebut budak, tak ada gunanya memisahkan seseorang itu budak modern yang kaya dan bergelimang harta serta kesenangan, dengan budak tradisional yang melarat dan menderita. Semuanya adalah budak!

(7)
Saya merasa bukan budak. Dan saya tidak pernah mau menjadi budak. Saya hanya orang yang bersedia menerima konsekuensi.

Saya tidak mau, ketika waktu saya banyak "tersita" untuk urusan agama, maka saya disebut menjadi "budak" agama. Itu konsekuensi agar disayang Tuhan.

Sederhana. Memelas sekali ya, saya ini? Hehe...


Salam,

Fajar S Pramono

NB : ngayawara = ngompyang = ngomong yang tidak jelas juntrungannya.

0 komentar: